Chapter 39

1.1K 155 17
                                    

Masih di rumah sakit ditemani Tante Erna yang ikhlas tidak pergi kemanapun. Kak Kevin dan Keemas juga sering datang kemari untuk menjenguk, sekedar menghibur dan anehnya Kak Kevin selalu meminta maaf padaku. Aku sakit karenanya, itu yang dia pikirkan, padahal bukan karena itu. Aku hanya terlalu takut kehilangan dua sahabatku.

Setelah mengetahui isi surat Bryalian, aku belum menjawabnya, aku ingin meminta kepastian darinya tentang maksud surat itu tapi aku sendiri tak siap mendengar jawabannya atau pun menjawabnya. Bagaimana jika ternyata ini awal dari aku kehilangan dua sahabatku?

"Nduk Za, sarapan dulu ya?" Tanya Tante Erna membawa semangkuk bubur untukku.

Menggeleng.

"Eh, harus makan dulu, tadi subuh Mama kamu telepon, katanya beliau mau ke sini pagi ini," ucapnya duduk di sebelahku.

"Za nggak pengen makan, Tante."

Tante Erna meletakkan mangkuk di atas kursi kecil, sama-sama memilih menatap jendela kosong. "Kenapa Za takut kehilangan Brylian sama Nando? Mereka kan nggak mungkin ninggalin kamu, Nduk."

Menunduk.

"Tante masih ingat sekali waktu kalian pertama bertemu di Sidoarjo. Kalian takut-takut, malu-malu, tapi kalian saling cari perhatian. Tante juga masih ingat waktu Za nungguin mereka main bola di tepi lapangan. Tante ingat betul bagaimana sedihnya Nando jauh dari kalian. Kalian selalu menghabiskan pulsa dan merengek-rengek pada orang tua untuk bisa saling berhubungan. Satu sakit, yang dua nggak akan bisa tenang. Selalu semacam itu. Kalian itu dekat, mana mungkin saling meninggalkan?"

Aku ingin percaya teori Tante Erna, kami ini sangat dekat bagaimana mungkin saling meninggalkan? Tapi sayangnya aku juga percaya teori milik Sutan Diego Armando Ondriano Zico, tentang bagaimana cinta merusak persahabatan di masa muda. Jangankan masa muda, bahkan persahabatan di saat dewasa pun bisa jadi rusak karena cinta.

Cinta memang menyatukan tapi jika dilihat dari sisi buruknya dia bisa memunculkan ego yang memecah. Mungkin itu kenapa cinta begitu rumit, pun mungkin itu kenapa kita diminta berhati-hati ketika bermain cinta.

"Tak ada masalah antara kalian kan?"

Menoleh pada Tante Erna, tersenyum. "Tidak kok, Tan."

"Mereka berulang kali menghubungi kamu. Ramai itu hape kamu setiap kali mereka pegang hape di sana."

Tersenyum saja.

Kling...

Ponselku kembali berdering, layarnya berkedip-kedip di atas meja sebelah ranjang sakitku.

"Nggak diangkat, Nduk Za?"

Mengambil ponselnya, tersenyum. "Iya, Tante."

Setelah kulihat pada layar ponselnya, yang aku kira itu Ernando atau Brylian, tapi malah Zico. Tidak langsung aku angkat, malah lebih memilih membuka WhatsApp lebih dulu, melihat pesan dari siapa saja. Dan pemecah rekor pengirim pesan terbanyak adalah Ernando Ari Sutaryadi dan tidak ada sama sekali dari Brylian. Malah seorang Bagus Kahfi sempat mengirim ucapan semoga lekas sembuh, nomornya yang baru pertama kali menghubungiku.

"Dari Nando, Nduk?"

Menggeleng. "Zico, Tante."

Tante Erna mengangguk-angguk. "Zico sudah bisa pegang hape kenapa Nando belum menghubungi?" Gumamnya membuang sampah air mineral yang aku minum subuh tadi.

"Ndak tahu, Tante."

Menarik napas dan bersiap mengangkat telepon Zico yang sudah dia ulang beberapa kali.

TriangleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang