Chapter 28

1.3K 160 15
                                    

Brylian Point of View

Bisakah aku sampaikan kalimat ini ketika hanya berdua saja, ketika kepalaku lemah di atas bahunya, ketika terik tak membuat kami beranjak dari bawah pohon yang celah dahannya masih membiarkan cahaya menyorot kami? Bisakah aku lakukan itu?

Tahukah bahwa embun selalu menyejukkan dan mentari selalu menghangatkan?
Ketahuilah keduanya tak lebih hebat dari keputusan Tuhan menghadirkan kamu dalam hidupku.
Sebab sejuk dan hangat itu ialah definisi kehadiranmu.

Hanya itu yang ingin aku sampaikan padamu, Za, ketika mulutku terkunci tapi hatiku mengungkap kalimat secara terperinci. Itu pun yang ingin aku sampaikan jika saja Ernando tak punya tatapan. Lebih dari itu, itu yang ingin aku sampaikan sebelum aku hilang kesempatan. Tapi rasanya tidak bisa, Za, aku tidak bisa melakukan semua itu dengan suara, biar bungkam begini saja.

"Kamu nggak tidur kan, Bry?" Tanya Za yang mungkin saja menatapku susah payah pada posisi ini.

Aku memang memejamkan mata jadi aku jawab, "tidak."

"Kirain tidur."

Semakin memejamkan mata. Jika boleh kukatakan, Za, aku ingin memberitahumu rasa baru dalam sepotong hati. Pejam mataku ialah cara penyampaian terbaik agar apa kata Zico tak menjadi mimpi buruk yang menyakiti.

"Tanpa Sutar kaya dunia kehilangan warna cerahnya, monokrom," ucap Za membuatku membuka mata.

"Iya," sahutku.

Padahal dengan sangat kejamnya hari ini, hari sebelumnya, aku lebih suka jika Ernando adalah sahabat jauhku, sahabat yang terbentang jarak daripada dia ada di sini bersamaku. Tanpa Ernando aku memang kehilangan warna hidupku, merah, biru, hijau, kuning, tapi aku tidak pernah kehilangan warna merah mudaku yaitu, Za.

"Lagi ngapain dia ya?" Gumam Za menatap langit-langit kota Sidoarjo. 

"Paling juga sama anaknya pengurus PPLP itu, tadi dia bilang kan diteleponin terus sama temen-temennya diajak kumpul tapi ada gadis itu," kataku mengangkat kepalaku dari bahu Za.

Za mengangguk-angguk. "Maybe lagi kumpul sama temen-temennya itu. Dan kalau sama temen-temennya PPLP pasti ada cewek itu."

"Iya."

"Nanti lama-lama Ernando juga luluh sama itu cewek, agresif banget habisnya."

Ernando tadi memang sudah bercerita pada kami, mengeluhkan banyak hal tentang gadis asal Semarang itu. Tapi rasanya untuk luluh pada gadis itu menjadi kemustahilan yang selalu aku harapkan. Bagaimana Ernando bisa jatuh cinta dengan perempuan lain sementara dia punya sesuatu yang indah untukmu, Za?

"Kayanya si Dewo juga pulang kan? Ke Semarang katanya mau ada turnamen pelajar juga."

Mengangguk. "Dia kan anak Timnas Pelajar di bawah Kemenpora, Za. Sibuk juga bolak-balik."

Kami kembali menikmati sore hari kota Sidoarjo, setelah tadi harus berjibaku dengan anaknya Cak Dahlan. Menyebalkan memang orang tua itu, kasih hukuman main Ludo masa' gantiin popok anaknya. Semacam tidak ada hukuman yang lebih baik lagi. Puas menikmati mentari hingga berganti senja, aku pulang ke rumah dengan wajah sedikit sumringah tapi bukan berarti hati tidak gundah.

"Kenapa ditekuk?" Tanya Kak Kevin yang baru saja pulang dari kencannya bersama sang pacar.

Menggeleng.

"Bukannya menikmati hari tanpa Nando hari ini?"

"Tetap saja tanpa Sutar ada sesuatu yang hilang walaupun senang, Kak."

"Ah kalian ya, ribet. Bener kan kamu jatuh cinta sama Za?"

Aku diam saja tidak menjawab. Lagi pula kalau jatuh cinta juga untuk kenapa? Cinta itu kan rasa yang wajar dimiliki oleh siapapun dan itu rasa yang paling indah yang Tuhan berikan dalam kehidupan. Semua berhak memiliki rasa itu.

TriangleWhere stories live. Discover now