Chapter 80

1K 158 54
                                    

Entah apa maksud Brylian mengatakan semuanya tadi, meninggalkan aku hanya dengan Nando. Aku datang ke sini karena dia yang minta, dia minta aku lihat perkembangan permainannya dan teman-teman lain. Dan aku putuskan untuk datang meski bertemu dengan Nando ialah hal yang tidak aku sukai, bukan karena tidak rindu, tapi lantaran aku lebih sering mengutuk diriku sendiri atas perasaan ini. Jadi tujuanku datang ialah sebagai sahabat Brylian, sahabat Nando, dan pemain lain yang kukenal.

Kini Nando diam di depanku, aku pun melakukan hal yang sama. Lidahku terlalu kelu untuk sekedar menyapa, "hai, apa kabar?". Jadi iri sama orang yang mudah-mudah saja mengatakan sapaan sementara aku terlalu kelu untuk itu semua.

Aku ingat bagaimana cara Nando mengatakan kalau dia jatuh cinta saat itu, mirip dengan apa yang Brylian katakan. Tapi satu hal, aku pun punya jawaban untuk itu. Sayangnya hanya bisa diam tanpa bisa disuarakan. Seperti jerit rinduku yang selalu dibungkam.

"Harapku sama dengan harapmu, segitiga itu menyisakan satu garis saja atau menjadi segitiga sama kaki. Aku harap hanya satu, bukan cabang-cabang, ini hati bukan pepohonan," ungkapku, diam.

Nando memainkan jari jemarinya, menunduk dengan mata memerah ketika aku berusaha meliriknya sekilas.

"Ngomong dong, sahabatnya udah berkorban ikhlas hati dianya nggak ngomong!" sindir Zico yang sejujurnya berulang kali lewat di dekat kami. Mungkin dia sengaja lewat untuk menguping.

"Ih, diem aja kek nggak ada mulut!" giliran Bagus yang melewati kami, mengikuti jejak Zico.

"Emm," Nando tersengat grogi. "Mau duduk?" tawarnya.

Aku mengangguk kaku.

Kami berjalan ke sebuah bangku kecil di sebelah stadion. Duduk dan diam sekian lama.

"Zico, Zico sudah bilang semuanya," kata Nando membuatku menoleh cepat ke arahnya.

Apa mungkin Zico mengatakan semuanya? Dia memang bilang begitu, tapi aku tidak pernah setuju. Aku tidak pernah mau kehilangan Brylian dan Nando, mereka sama-sama berarti, meskipun cabang hatiku lebih banyak ke Nando.

Mata Nando berkaca-kaca. "Aku rindu, tapi aku tidak mau menyakiti sahabatku," katanya.

Lidahku sudah semakin kelu, tapi waktu akan melewatkan masalah begitu saja jika kita hanya diam.

"Brylian tahu?"

Dia mengangguk. "Tidak mungkin dia minta aku bicara berdua denganmu sementara dia tidak tahu."

Aku menggeleng. Dalam hal ini, aku salah jika masih bersama Nando, menghubungi Brylian dan lain sebagainya.

"Aku pamit," kataku melangkah dan Nando hanya diam.

Derai tangisku tak dapat lagi aku bendung, aku biarkan ia jatuh saat  ini dan selanjutnya tak akan aku biarkan ia jatuh lagi di masa depan.

"Za," Zico menghentikan langkahku, menggenggam tangan kananku. "Kamu gila mau balik gitu aja tanpa ada penjelasan apa-apa?"

"Kamu yang gila! Mulutmu!" mengibaskan tangannya penuh kekesalan.

Melangkah pergi dan Zico masih mengejarku, disusul Brylian yang berteriak sekenanya.

"Za," Zico berpindah ke depanku, mencoba menghalangi langkahku.

Selalu saja aku menghindar.

"Za," Brylian mencengkram tanganku dari belakang, terdengar napasnya yang terengah-engah. "Za, dengerin aku ngomong dulu!"

"Aku mau selamanya hidup di Leicester tanpa kalian," kataku menatap Brylian yang tersenyum manis.

Apa hatinya itu kuat tersenyum semanis ini pada perempuan yang tak mampu membalas perasannya lantaran jatuh cinta pada sahabatnya sendiri?

TriangleWhere stories live. Discover now