Chapter 59

951 129 19
                                    

Brylian Point of View

Pagi ini pelatih menatap kami semua murka, tak ada wajah cerah, layaknya Coach Fakhri biasanya. Beliau selalu berwajah kebapakan, bahkan sekalipun beliau terapkan ketegasan. Aku, Zico dan Nando yang selalu ditatapnya marah, mungkin karena luka lebam yang begitu mengerikan. Hanya beberapa tempat tapi cukup jelaskan kalau kami ini preman.

"Jadi siapa yang mau menjelaskan?" Tanya Coach Fakhri.

Seharusnya pagi ini kami latihan ringan di sekitar hotel. Tentu tujuan cetak sejarah baru memaksa kami tidak lemah dan kaku dalam setiap waktu.

"David, kamu bilang kamu akan selesaikan ini sebelum kita berangkat ke Malaysia. Kenapa tambah satu orang yang menjadi korban dan tersangka? Jika kamu tidak bisa, katakan tidak bisa. Biar saya yang urus!" Bentaknya pada David di samping kananku.

David menunduk. "Maaf, Coach, beri saya kesempatan terakhir," katanya.

Coach Fakhri mengernyitkan dahinya. "Jangan main-main lagi kamu. Besok kita sudah berlaga!"

"Saya mohon, Coach."

"Kalau masih begini, besok kita pulang. Buat apa datang untuk mempermalukan negara?!" Kata Coach Fakhri meninggalkan kami semua.

Cukup menohok, untuk apa datang untuk mempermalukan negara? Atlet mana yang ingin mempermalukan negaranya? Hanya dia yang mau dibayar mafia dan sembunyi tangan, pengkhianat bangsa paling menjijikan. Tapi kami bukan semacam itu, kami ini datang benar-benar untuk bangsa kami, bangsa yang kami cintai.

David menunduk lesu, tetapi tatapannya sempat sangat marah padaku, Nando dan Zico. "Kita ke atas sekarang! Semua kumpul tanpa terkecuali! Yudha! Tolong jangan mementingkan video call dengan pacarmu!"

Kami semua menurut apa kata Kapten, dia tangan kanan Coach Fakhri,dia pimpinan kami. Meski sejujurnya akulah wakil kapten di dalam tim ini.

Berkumpul di salah satu kamar paling tengah, kamar Fadil, Vedha dan Salman. Ada beberapa yang masih sempat bercanda, ada yang kelihatan takut karena David berwajah merah padam, ada pula yang menunduk diam. Bagas dah Bagus malah lebih pilih berdebat tidak penting tentang botol air mineral saja. 

"Gue capek ya, gue capek!" Keluh David pertama. "Gue capek ngurusin kalian-kalian yang bodohnya nggak ketulungan!" Otot-otot lehernya sampai hampir putus karena berteriak.

Semua orang memilih diam, tapi aku tidak suka caranya mengatakan kami-kami ini bodoh. Orang tua kami bahkan berusaha mati-matian, meminum keringatnya sendiri hanya demi kami dianggap pintar. Tapi orang lain mengatakan kami bodoh? Jika memang kami bodoh, setidaknya tidak dengan suara keras dia mengatakan itu.

"Lo Kapten di sini, nggak bisa seenaknya ngatain bodoh!" Protesku. 

David malah menyeringai. "Jadi harus aku katakan apalagi untuk orang yang gue lindungi mati-matian tapi tetap tidak tahu terima kasih! Cih, anak kecil!"

Aku menatapnya marah. Aku tidak suka ada kata "cih" seolah dia meludahiku.

"Lagian lo melindungi apa?" Tantangku.

Entah kenapa aku memang cukup arogan ketika banyak hal yang menyakitkan baik bagi hatiku ataupun pikiranku.

"Kalau bukan karena gue merengek-rengek sama Coach Fakhri, kalian sudah dicoret dari Timnas. Lo sama Nando! Kalau saja waktu itu gue nggak nahan Coach Fakhri, nggak bilang bakalan menyelesaikan masalah ini, Zico juga nggak akan jadi korban!" Bentaknya.

Bagas meminta David untuk duduk, dia kelihatan sangat-sangat kesetanan kali ini.

"Jangan kalian pikir Coach Fakhri diam karena tidak tahu apapun.  Beliau tahu kalian berdua baku hantam, beliau tahu apa yang sedang viral, beliau juga tahu akhirnya semalam kalian baku hantam semakin brutal!"

TriangleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang