Chapter 38

1.1K 144 5
                                    

Brylian Point of View

Mendengar kabar Za sakit membuatku tidak bisa tidur malam ini. Rendy yang sebenarnya sudah mengantuk juga terpaksa menemaniku, baiklah, dia sahabat baru yang baik. Kami berdua duduk menghadap jendela, sesekali bercerita tentang malam yang seolah akan murka tapi sebagian darinya masih menyimpan cahaya. Entah Rendy memikirkan apa ketika dia diam, kalau aku memang memikirkan Za ketika diam.

Jujur sejak kemarin malam aku sudah merasa bersalah, Ernando tidak tahu aku mengungkapkan rasa pada Za dan Za pun berusaha menghubungiku tapi aku tidak memberikan jawaban. Dan sekarang aku malah dengar dia sakit, bahkan aku sempat lihat postingan akun fanbase-ku dari snapgram Keemas, Za begitu memprihatinkan kondisinya. Mata bengkak, bibir pucat, dia tertidur tapi merasakan sakit.

Orang-orang mengucapkan semoga lekas sembuh, mengatakan kasian jauh dari sahabatnya jadi sakit, dan lain sebagainya. Sementara aku tak kuasa sekedar mengatakan semoga lekas sembuh. Jangan-jangan dia sakit karena berpikir yang tidak-tidak mengenai suratku.

Aku sudah berusaha menghubungi Kak Kevin tadi, sebelum ponsel dikumpulkan, tapi tidak ada balasan sama sekali. Belum lagi melihat snapgram Kak Kevin yang mengatakan bahwa dia menyesal, awal semuanya dari dia dan katanya kami belum siap. Pikirku itu ada hubungannya dengan kejujuranku.

"Gue ngantuk banget sebenarnya tapi karena Coach Fakhri selalu bilang kita ini keluarga, ada apa-apa bisa saling berbagi dan saling mengerti, kita bisa saling memberi masukan dan mendengarkan, kita bisa saling memeluk dan menyediakan bahu. Gue tahu lo ada masalah, gue cuma berusaha ada buat lo kalaupun lo butuh gue buat cerita," kata Rendy dengan mata beratnya.

Tersenyum, tipis.

Ketika kita dipertemukan saat negara memanggil, kita langsung terbentuk menjadi sebuah keluarga yang kokoh. Kenapa kita bisa merdeka? Karena pejuang mengutamakan kesatuan dan rasa kekeluargaan. Untuk itu, bagaimana kita bisa menjadi juara demi negara? Kita bisa mulai untuk melebur perbedaan, mengikat hati atas nama kekeluargaan. Sebab kita kuat ketika kita satu.

Meski sahabat terbaikku selalu Za dan Ernando, tapi aku menemukan keluarga yang punya porsinya masing-masing dalam hidupku, Timnas U-16. Semua akan berbagi, memberi, dan mengasihi layaknya keluargamu, keluargaku, keluarga kita semua.

"Kalau lo khawatir sama Za, lo bisa doain dia setiap lo menghadap Kapten kita semua, Allah SWT. Doa itu kan pelukan saat jarak memisahkan."

Tersenyum getir lagi, aku tak pernah lupa mendoakan Za, sama seperti aku tak pernah lupa mendoakan Ernando. Meski tak pernah seperti aku selalu mendoakan Mama di surga sana.

"Gue, gue cuma merasa bersalah, Ren. Gue ambil keputusan yang salah, harusnya gue aja yang terluka daripada Za."

"Maksudnya?"

Menggeleng. "Kita tidur aja," kataku membenamkan wajah ke bantal.

Rendy mengikuti langkahku, diam dan berbaring di atas tempat tidurnya.

Sahabat itu, dia sangat peduli, tapi tidak memiliki ingin tahu yang tinggi. Dia itu mengerti, tanpa memaksa untuk selalu mengerti dan dimengerti. Begitulah sebagian besar sahabatku di Timnas.

Rendy mungkin langsung hilang nyawa malam ini, esok akan kembali, tapi aku belum bisa sama sekali. Masih memikirkan Za dan terbangun di subuh hari, ketika David Maulana dengan suara menggelegarnya menggeledah kamar kami satu persatu.

"Bangun, woy, merem bae, sholat subuh ngapa, sholat subuh! Ntar kena double azab loh!" Pekik David membuat Rendy merenggangkan tubuhnya sambil mengerang.

"Iya, Capt!" Balas yang lainnya dengan suara parau tapi memaksa keras.

"Ayo ayo, keburu malaikat Izrail datang!" Teriaknya lagi.

TriangleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang