Chapter 64

1K 132 17
                                    

Ernando Point of View

Merah putih menjadi saksi doa-doa yang kami panjatkan pada Tuhan hari ini. Melawan Australia dalam terusan ajang AFC CUP U-16, kami harus bermain habis-habisan. Demi sebuah impian Indonesia ada di Piala Dunia U-17 tahun 2019 mendatang.

Semalam sudah mendapat banyak nasihat dari Mama, terutama tentang aku yang mencintai Za,sampai harus mengorbankan persahabtanku dengan Brylian. Banyak hal Mama beritahukan, tentang cinta remaja, tentang perasaan baru yang ambigu, tentang semua hal. Mama seolah mengerti menjadi aku.

"All out!" Pekik David mengakhiri beberapa patah kalimat semangat darinya.

"Siap!" Pekik satu pasukan.

Aku kembali dipercaya sebagai kiper Timnas Indonesia U-16. Berdiri di bawah mistar gawang tanpa dilihat Za, meski tidak begitu baik, aku ingin bermain baik, bukan demi Za, demi negara yang tak pernah membuangku meski terkadang aku terkesan tidak berguna.

Laga berlangsung dramatis, tetapi kami harus pulang dengan kekecewaan, kalah dengan Australia seperti sudah mengkhianati negara sendiri. Mana 90 menit menuju piala dunia? Sudah habis waktunya untuk bermimpi.

Semua orang diam di kamarnya usai takluk dari Australia. Menunduk lesu, menatap merah putih dengan tatapan yang kosong.

Kalian tentu merasakan hal yang sama. Ketika kami yang kalian elu-elukan tidak dapat memberikan hasil terbaik. Tapi percayalah kami telah berjuang semaksimal mungkin dan kami lebih kecewa darimu.

"Gara-gara kalian berdua, ngapain sih pakai acara berantem dan nggak kompak segala cuma urusan cewek!" Bagus mendobrak pintu kamarku, Zico dan Brylian. "Kalian berdua benar-benar menghancurkan negara ini untuk urusan sepele!"

Aku sedikit tidak terima, urusan sepele? Apakah sahabatku adalah urusan sepele? Dan, menyalahkan aku?

"Gus!" Rendy mengikutinya lantas menariknya keluar.

"Tapi bener juga! Tim ini baik-baik saja sebelum mereka berdua bikin masalah. Dan kamu, Dik! Harusnya kamu tahu! Kamu yang dulu juga dorong-dorong Nando buat jujur sama Za, kalau kamu waktu itu diam, ikutin apa kata Abang, nggak gini juga jadinya!" Bagas justru mendorong-dorong tubuh Bagus dengan kesal.

Dua manusia kembar itu memang sering bertengkar, tapi pertengkaran kali ini terlihat lebih buruk dari biasanya.

"Kok nyalahin aku, Bang? Yang punya perasaan mereka gitu. Harusnya mereka yang kendalikan dan mereka yang mengesampingkan masalah ini, tim didahulukan!" Bagus membalas.

Bagas hampir saja kehilangan matanya, pelototan yang tajam. "Kamu tahu itu masalah perasaan mereka. Kamu siapa ikut campur minta mereka mengutarakan perasaan mereka? Kamu sama Zico kan yang kegirangan pertama kali? Abang masih ingat!"

Bagus tidak berkutik.

"Dan lo, Co! Lo dulu ngebet banget mereka berantem, ngungkapin perasaan, walaupun akhirnya agak labil, habis itu lo pacarin sahabat mereka. Lo yang paling busuk sebenarnya!" Bagas sudah lebih mirip sepeda RX-King yang sudah ngegas.

Zico mengangkat kepalanya. "Salah gue? Lo tadi juga ngapain nggak bisa jaga lini belakang? Apa alibi lo? Kalah tinggi? Klasik!"

Tim ini lebih mirip tim sepak bola tarkam dibandingkan dengan tim yang mewakili negara besar. Aku mulai sadar, awal dari kegagalan ini bisa jadi kesalahan kita tidak saling percaya, tidak lekat erat, sedikit meninggalkan cinta pada negara. Ya mungkin benar, aku yang salah, seharusnya cinta masa remaja tak kalahkan cinta pada tanah air tercinta. Sejatinya yang tidak pernah berkhianat ialah Tuhan dan Negaraku, dibandingkan manusia yang bisa saja mencintai dua manusia meski berhati satu.

TriangleWhere stories live. Discover now