Chapter 9

1.9K 213 26
                                    

Pagi ini sebelum berangkat sekolah, aku mampir dulu ke rumah Ernando, mengambil mini speaker yang dia minta semalam. Aku sudah bilang Tante Erna untuk mengambil speaker itu pagi ini dan beliau bilang langsung saja bilang pada asisten rumah tangga di rumah dan langsung ambil sendiri di kamarnya Nando. Beliau sedang ke Semarang untuk mengurus berkas.

Begitulah orang tua Ernando, meski tinggal lama di Sidoarjo, mereka tidak berpindah domisili, masih tetap warga Semarang, Jawa Tengah. Kota yang selalu semangat aku kunjungi salain Solo dan Magelang.

"Eh, Mbak Azza. Mau ambil barang ke kamarnya Mas Nando kan, Mbak?" Tanya asisten rumah tangga Tante Erna sambil memegang sapu lidi di tangan kanannya.

"Eh, iya, Mak. Izin masuk ya, Mak Ti," sambil membungkukkan badan.

"Oh nggeh, monggo."

Masuk ke ruang utama, melewati dua kamar dan sampai di satu kamar milik Ernando, dari kecil kamarnya tidak pernah berganti posisi, isinya saja yang berganti. Kamar yang waktu kecil sering menjadi tempat kami melampiaskan kekesalan.

Jika kami menikmati ketenangan di dekat burung hantu Papa, maka ketika kami dimarahi orang tua masing-masing, kamar Ernando lah yang menjadi tempat pelarian. Karena dimarahi itu menyebalkan dan menyedihkan bercampur menjadi satu, maka dinding kamar Ernando adalah pelampiasannya. Mencorat-coret hal yang tidak penting lantas tertawa  bersama. Papa dan Mama sampai berulang kali membelikan cat untuk mengecat ulang kamar Ernando, Om Yusyanto dan Almarhumah Tante Isnaini juga melakukan hal yang sama. Saking tidak enaknya anak mereka membuat kotor kamar anak sahabatnya yang juga sahabat kami.

Ketika masuk, langsung disambut cat abu-abu kamar Ernando, entah kenapa dia selalu suka warna-warna gelap yang katanya menenangkan. Sudah begitu langsung disambut bingkai-bingkai foto kebersamaan Owl Squad. Mulai dari ketika pertama bertemu di kelas 1 SD, ketika kita beranjak remaja, ketika kita harus terpisah-pisah dan ketika putih abu-abu kembali menyatukan. Semua ada, sama persis dengan foto-foto yang ada di kamarku maupun kamar Brylian.

Aku tersenyum, aku ingin kita selamanya semacam ini, sampai kita bisa membanggakan Indonesia dan berbuat hal besar untuk Indonesia. Meksi sejujurnya, ucapan Zico terkadang menghantui. Aku tidak peduli dengan cinta monyet, mungkin karena aku belum mengalaminya sejauh ini. Tapi bagaimana jika nanti aku mengalami? Bagaimana dengan persahabatan ini? Ah, tapi aku yakin semua akan baik-baik saja, ketika kami beranjak dewasa nanti pun, aku yakin semua tetap baik-baik saja.

Kembali melangkah, mencari dimana tempat mini speaker itu bertengger. Kucari-cari sampai menemukan sebuah kertas foto terlipat kecil di dekat meja kecil Ernando. Aku membukanya dan itu foto seorang perempuan bersama dengan Ernando, dengan latar tempat Simpang Lima Semarang. Di belakangnya tertulis, "Jatuh cintalah pada seseorang yang selalu menunggumu pulang ke Semarang". Dan itu cukup untuk menelan ludahku sendiri.

Tapi selanjutnya aku ingin marah pada Ernando, kenapa dia tidak bilang padaku dan Brylian, atau sebenarnya memang aku saja yang tidak tau masalah ini. Sebelumnya dia selalu mengatakan apapun pada kami, bahkan tentang dia yang mendapat surat dari anak SD waktu kami SMP kelas 1.

Aku remas kertas foto itu lalu aku masukkan ke dalam tas sekolahku. Aku tidak bisa lama-lama, Papa sudah menungguku di luar, beliau keburu terlambat ke kantornya.

Mengambil mini speaker di dekat laptop dan printer, warnanya hitam dan tanpa kabel, mungkin portabel.

"Sudah, Mbak Azza?" Tanya Mak Ti sambil menyapu halaman rumah Ernando.

"Sudah, Mak. Terima kasih, pamit sekolah dulu," menjabat tangannya lalu masuk ke dalam mobil Papa.

Sejak kecil kami tidak diajarkan tentang diskriminasi, baik orang tuaku, orang tua Ernando maupun Brylian, siapapun dan apapun pangkatnya jika lebih tua wajib dihormati. Ada di posisi manapun mereka, kita tidak boleh memandang terlalu tinggi mereka atau memandang terlalu rendah mereka. Sebab yang paling pantas memandang rendah dan tingginya derajat manusia hanyalah Allah SWT.

Dalam perjalanan ke sekolah, aku terus saja kepikiran dengan foto yang ada di kamar Ernando, hanya kesal saja kenapa aku tidak tahu. Mungkin akan bertambah kesal ketika Brylian ternyata sudah tahu. Baik Ernando maupun Brylian, mereka selalu marah ketika aku didekati laki-laki tetapi tidak bilang pada mereka, tapi Nando justru melakukan sebaliknya.

Sampai di sekolah, yang aku temui pertama kali adalah Alfeandra Dewangga, anak asal Jawa Tengah yang kabarnya satu klub dengan Ernando di PPLP Jateng, kudengar dia juga kapten di sana. Aku hanya ingin tahu saja, siapa tahu dia kenal dengan perempuan ini dan tahu ceritanya. Dari yang aku dengar pula dari Nando, panggilannya Dewo.

"Dewo," panggilku.

"Oh, Azzalea ya? Temannya Nando?" Tanya Dewo begitu dia menoleh padaku dengan tas ransel hitam di punggungnya.

Aku mengangguk. "Kamu satu klub dengan Sutar kan?"

"Sutar?"

"Nando maksudku."

"Oh iya, kenapa?"

"Kenal perempuan ini nggak?" Tanyaku tapi dia hanya mengangkat kedua alisnya.

"Kaya pernah lihat sih. Kayanya dia salah satu anak pengurus PPLP Jateng," jawabnya sambil mengingat foto yang ada bekas-bekas lipatannya.

"Kenapa? Ada masalah?"

Aku menggeleng, masalahku hanya karena Ernando tidak berlaku adil padaku. Jika dia wajib tahu tentang laki-laki yang mendekatiku atau dekat denganku, seharusnya aku juga wajib tahu tentang perempuan yang dekat atau mendekatinya.

"Enggak, cuma penasaran aja, si Sutar eh Nando ternyata udah punya cewek. Biasa mau dikecengin lah, ha ha ha."

"Oh, tapi kayanya loh, aku juga lupa-lupa ingat. Lama nggak pulang ke PPLP Jateng."

"Iya, enggak masalah. Terima kasih ya, Wo."

Dia mengangguk.

Ternyata seorang Dewo yang kata orang gantengnya melebihi Ernando itu benar adanya, tapi sayang, dia kelihatan yang agak jutek gitu sama perempuan. Yang tadi karena aku temennya Ernando sih kalau enggak juga bakalan cuek dia.

Kembali ke kelas dan dengan setia menunggu Rifai datang, aku harus bertanya padanya. Dia yang sering bertukar tempat, sehari dengan Ernando sehari dengan Brylian. Paling tidak kalau pas pelajaran mereka berisik itu salah satunya ngomongin ini.

Cukup lama sampai 5 menit menjelang bel masuk berbunyi. Rifai baru datang dengan ponsel di tangannya.

"Rifai?" Panggilku menghentikan langkahnya lantas duduk di sampingku.

"Kenapa, Za?" Memasukkan ponselnya ke dalam saku.

"Kamu duduk sini aja deh," pintaku dan dia setuju.

Orang lain tak boleh menempati kursi-kursi sakral ini sejak kelas X tapi aku dan Rifai bisa saja menempati kursi sakral ini jika kami mau.

"Oke," katanya mengeluarkan buku kimia, sedang sok rajin dia akhir-akhir ini karena pacarnya teman sekelas, pindahan dari Malang. Untung pacarnya tidak cemburuan, jadi dia selalu mengerti jika Rifai ada diantara aku, Ernando dan Brylian.

Aku mengeluarkan foto dari dalam tasku lagi. "Kamu tahu nggak perempuan ini siapanya Sutar?" Tanyaku menunjukkan foto padanya, tepat saat bel masuk dibunyikan. 

Rifai justru mengernyitkan dahi padaku. "Kamu nggak salah tanya sama aku, Za? Hello!"

"Seriusan! Kamu tahu nggak dia siapanya Sutar?"

"Astaga, Za. Kamu salah kalau tanya itu sama aku. Sahabatnya Nando kan kamu, bukan aku, jadi yang seharusnya tahu itu kamu dan yang seharusnya kepo itu aku."

Menghela napas panjang. Kecewa sekali, hanya tahu informasi menggantung dari Dewo tentang kemungkinan perempuan itu anak dari pengurus PPLP Jateng. Itu saja dan tidak ada informasi pasti.

"Kenapa? Masa' Nando nggak cerita sama kamu?"

"Nah itu, dia biasanya cerita tapi ini enggak. Kan kesel, Rif."

"Hemmm, iya sih. Tapi ya sudah, habis ini kamu ke tempat Nando kan? Tanyain aja, mumpung sempat."

Aku mengangguk. Aku begini hanya karena tidak sabar saja.

🔻🔺TO BE CONTINUE 🔺🔻
HAYOLOH SIAPA CEWEK ITU YA SIAPA YA HE HE HE.
KALAU KALIAN PENASARAN KAYA APA WAJAH DEWO, KOMENTAR AJA. DI PART BERIKUTNYA BIAR AKU KASIH TAHU. SIAPA TAHU PENGEN MEMBANDINGKAN.
KALAU SUDAH TAHU, ALHAMDULILLAH 😂

TriangleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang