Chapter 4

2.3K 255 22
                                    

Sepulang sekolah aku menuruti kedua sahabatku, atas izin Mama aku langsung ke hotel tanpa pulang terlebih dahulu, sebab kalau pulang dulu kehilangan waktu. Apalagi nanti sore harus les privat lagi. Alhasil menuju hotel ya dengan seragam lusuh dan ransel hitam di punggungku.

Sampai di hotel pun aku tidak langsung masuk atau tanya sama Bapak Satpamnya, kalaupun mau aku sudah menunjukkan isi pesan WhatsApp dari Brylian dan Ernando pada Pak Satpam biar aku bisa masuk. Sayangnya aku lebih memilih nunggu di minimarket seberang jalan. Menikmati sebotol air mineral dengan kemasan khusus Asian Games, foto Septian David Maulana, berikut dengan roti yang aku beli pun bersamaan.

Tak lama aku lihat pasukan Timnas U-16 datang dari sisi kanan jalan, menenteng tas dan beberapa official membawa bola. Sepertinya mereka baru saja melaksanakan latihan. Ada Coach Fakhri Husaini juga yang setiap malam Ernando dan Brylian ceritakan, katanya Coach Fakhri itu lucu, katanya pun begitu kebapakan.

Aku juga lihat kedua sahabatku berjalan dan bercanda bersama dengan si kembar, Bagas dan Bagus. Ingin melangkah mendekatinya tapi kalah cepat dengan fans. Puluhan perempuan dan berapa biji saja laki-laki mendekati mereka semua, Timnas U-16 tak terkecuali ya Brylian dan Ernando, apalagi Rendy Juliansyah yang menjadi idola banyak kaum hawa.

Kembali duduk di tempatku, menegak beberapa tetes air mineral lagi sambil tersenyum getir menyaksikan kedua sahabatku dirangkul-rangkul, diajak selfie, sementara aku menunggu moment itu terlewat. Supriadi, pemain idolaku itu juga tak luput dari sasaran massa.

"Nggak ikut nubruk pemain Timnas, Dik?" Tanya Mas-mas di sebelahku yang sejak tadi dia memang duduk di sebelahku.

"Enggak, Mas."

"Itu para cewek saja sampai memaksa gitu, kasian pemainnya, sudah capai masih dikerubuti," katanya lagi.

Aku hanya tersenyum. Sejujurnya sih aku juga nggak suka, habis dua sahabatku itu pasti juga lelah setelah latihan tapi kan itu sudah risiko jadi pemain bola yang menjelma jadi idola.

"Nggak suka bola memangnya?"

"Suka banget malah, Mas. Liverpudlian saya, saya juga Bonek Mania, fans Garuda juga," jawabku tegas. Bangga dengan ketiganya.

"Hah?" Mas-nya kaya kelihatan kaget banget gitu.

Yang aku suka dari Jawa Timur selama aku hidup di sini 16 tahun, warganya itu ramah-ramah. Suka sok kenal sok dekat, tapi ya seru.

"Kenapa nggak ikut minta foto kalau gitu?"

Menggeleng. "Nanti ada waktunya, Mas."

"Iya sih, nunggu reda aja. Asal nggak kehilangan momentum karena mereka harus balik ke hotel lagi."

Aku hanya tersenyum lagi.

Tak lama Brylian dan Ernando berjalan ke arahku, hanya berdua, padahal aku berharap mereka ngajak Supriadi.

"Nah itu mumpung mereka berdua terpisah tuh, Dik. Bisa foto bareng, sini deh, aku fotoin," tawar Masnya suka rela.

Aku menoleh saja pada Mas-mas di sebelahku, malah aku mulai khawatir jika dia menahan malu nantinya.

"Udah lama?" Tanya Ernando padaku.

"Eh, Za, nunggu lama ya? Maaf," Brylian mengikuti Ernando berdiri di depanku. Banyak fans yang masih mengajak selfie sambil berjalan, jadi dia yang paling belakang.

Dan seperti yang aku duga, Mas-mas itu menganga lalu menahan malunya dan pergi tanpa berpamitan denganku. Ingin sekali tadi aku nasehati buat tidak banyak menduga-duga apalagi sampai menyuruhku tapi tak enak hati juga. Eh ternyata lebih nggak enak hati karena membuatnya malu.

TriangleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang