Chapter 17

1.6K 190 38
                                    

Brylian Point of View

Di ruang ganti, Coach Fakhri memberikan arahan taktik yang tentu saja tidak aku ceritakan, jika selama ini hanya Za yang bercerita. Maka ketahuilah persahabatan ini dari pandanganku. Bagiku Sutar atau yang sering kalian panggil dengan Nando itu tak hanya seorang sahabat, dia adalah saudara atau bahkan Kakak bagiku. Dia paling pintar menghibur, dia tahu bagaimana caranya membuat orang lain tertawa. Za, dia pun lebih dari seorang sahabat, dia adalah semangat, dia adalah bahagia, dia adalah definisi masa remajaku. Keduanya tak akan tergantikan oleh siapapun. 

Selain menghibur, mereka berdua pun sanggup memperindah mimpi-mimpiku, kami katakan muara dari mimpi-mimpi kami adalah Indonesia. Kami semua punya mimpi, mengalir, dan muaranya adalah Indonesia. Za, mungkin sudah menjelaskan dari kaca matanya.

Memiliki dua sahabat yang selalu ada, dua sahabat yang selalu menjadi keindahan hidupku memang menyenangkan, tapi terkadang itu tak begitu berarti tanpa Mama. Dulu hidupku rasanya lengkap sekali, ada Papa, Kakak, Adik, dua sahabat, Om, Tante, dan tentu Mama. Ketika salah satu hal terpenting hilang, itu semacam separuh nyawaku pergi.

Jika kalian masih punya Mama, datangi beliau hari ini, ucapkan terimakasih dan maaf sebelum terlambat, itu saranku jika kalian tak ingin menyesal di kemudian hari. Sebelum kalian merasakan kehilangan itu memilukan.

"Sekarang, ini waktunya kalian cetak sejarah, tapi kalau kalian tak sanggup kasih gelar juara, tak masalah, Indonesia tak akan marah, itulah baiknya tanah air ini, tetap menampung orang-orang lemah meski namanya tak begitu indah di mata dunia. Jadi tinggal kalian mau atau tidak memperindah nama itu, atau hanya menjadi orang-orang lemah yang berpijak di negeri ini. Sampai di final ini, kalian sudah membuat saya bangga, tapi coba banggakan Indonesia," seru Coach Fakhri yang biasa berbicara lembut tapi menusuk.

Aku suka dengan cara pelatih Timnas ini melatihku, sikap kebapakan dan hangat, humoris namun begitu tegas.

Setelah beberapa prosesi kami mulai memasuki lapangan. Anime masyarakat Sidoarjo sungguh luar biasa, jika dulu aku hanya melihat Mas Evan dan kawan-kawan merengkuh gelar juara dari tribun bersama Nando dan Za, sekarang aku dan Nando justru berada di tengah lapangan dengan ribuan orang. Sorak Sorai mereka laksana ribuan semangat berkumpul menjadi satu, meredam ketakutan yang awalnya aku rasakan. 

Thailand, tentu pencinta sepakbola tahu bagaimana Thailand menjadi terpandang di Asia Tenggara, prestasi yang diraih sungguh luar biasa. Dan harus menghadapinya di final, itu bukan perkara yang mudah, tapi Za selalu bilang kalau kita ini sama hanya manusia jadi bagaimanapun bisa dikalahkan.

Hari ini benar-benar luar biasa, ribuan orang tapi tetap saja, tanpa Mama itu laksana air laut yang tak asin. Biasanya laga kecil, suporter sedikit, tapi ada Mama di tribun sana. Sekarang hanya ada Papa, Kak Kevin, Keemas, Za, orang tua Za dan orang tua Nando.

Setelah bersalaman dengan Thailand, kami saling memberi semangat satu sama lain, tentu juga setelah kumandang lagu kebangsaan Indonesia Raya.

"Lihat langit, Bry. Tante selalu di sana melihatmu, dia juga selalu bersamamu," kata Nando menyentuh dadaku sekilas.

Lihat kan bagaimana dia selalu menjadi seseorang yang menghibur?

Aku tersenyum lantas memandang langit Sidoarjo, berbintang, cerah, seperti senyum Mama setiap harinya. 

"Ma, Brylian pasti akan melakukan yang terbaik, tetaplah di sana dan akan Brylian banggakan Mama," kataku dalam hati sambil berkaca-kaca.

Laga dimulai, menit awal Indonesia selalu tampil menyerang, bahkan ini bukan seperti Indonesia yang biasanya, lebih garang di hadapan pasukan gajah putih.  Supriadi menciptakan banyak peluang namun mampu dipatahkan, Bagus pun tak mau kalah.

TriangleWhere stories live. Discover now