Chapter 60

953 132 20
                                    

Ernando Point of View

"Gue, gue butuh dia sebelum pertandingan," kataku lemah jatuh tersungkur.

Tanpa Za, semua pertandingan yang aku jalani bukanlah apa-apa. Dia yang biasanya memekik tentang merah putih, kali ini tidak ada lagi. Lantas bagaimana aku harus melalui pertandingan ini dengan baik?

"Za..." Kalimat Zico terhenti sambil dia menunduk. "Kenapa kalian nggak coba tanya sama teman sekelas kalian?"

"Apa susahnya langsung ngasih tahu?!" Tantang Brylian.

Aku tak begitu peduli, tak usah membuang waktu untuk Zico yang egois tidak mau memberikan informasi dimana Za saat ini. Lebih baik langsung menghubungi Rifai untuk bertanya dia tahu atau tidak Za dimana? Kenapa tidak mau dihubungi?

"Rif," sapaku begitu diangkat.

"Eh, selamat bertanding besok, Ndo. Jangan kebobolan ya? Mimpi rakyat Indonesia ada di tanganmu," katanya dan itu tidak berarti apa-apa.

Brylian yang awalnya berdebat dengan Zico, kali ini dia mendekat. Dan dia merampas ponselku untuk mengatur volume tertinggi.

"Za dimana, Rif?" Tanya Brylian tidak sabar.

"Nggak usah cari Za. Mungkin dia sudah tidak di dunia penuh nitizen nyinyir ini," jawab Rifai bernada kesal.

"Maksud kamu apa?" Giliranku bertanya. "Dimana Za, Rif?"

"Aku nggak tahu tapi lebih baik kalian nggak cari dia."

Dia tidak tahu? Bagaimana mungkin? Dia di Sidoarjo, satu kelas dengan Za, bahkan sering duduk di belakang Za. Selain kami, dia adalah teman sekelas yang paling dekat dengan Za.

"Mana mungkin nggak tahu? Kamu sekelas sama Za!" Sambar Brylian.

Aku memandang Zico. "Dia nggak tahu, jadi sebenarnya Za dimana, elo yang tahu!"

Zico diam saja tidak menjawab. 

"Rif!" Pekik Brylian.

"Aku ndak ruh, Bry! Za dua hari yang lalu ngurus pindahan ke kepala sekolah sama akademik. Tapi aku nggak tahu juga dia dimana. Kemarin dia udah nggak masuk sekolah. Pas aku telepon nggak diangkat, pas aku ke rumahnya, rumahnya udah sepi. Cuma ada Mak Jum, tapi Mak Jum bilang Za nggak ngasih tahu mau pergi ke mana. Papa sama Mama-nya juga nggak bilang apa-apa sama Mak Jum."

"Jadi Za pindah sekolah?" Tanyaku ringan. 

"Iya, pindah tempat tinggal juga. Sebelum dia pindah, dia bilang dia senang berteman sama aku dan Lia, dan dia bilang nggak perlu cari dimana dia. Sudah itu saja. Termasuk kalian, kalian nggak perlu cari di mana dia," lanjut Rifai.

Aku langsung mematikan telepon saking kesalnya. Beralih menelepon Mama, mungkin Za berpamitan sama Mama.

"Iya, Le?"

"Ma, Za pindah ke mana ya, Ma?" Tanyaku langsung to the point.

"Loh Mama ndak tahu, kemarin malam Za ke rumah, dia bilang mau pindah. Tapi pas Mama tanya cuma jawab rahasia."

Dahiku mengernyit. Sebenarnya pindah ke mana? Apa harus disembunyikan dari semua orang?

"Za pasti nanti kabarin kalian. Mana bisa kalian berpisah semacam ini kan? Ndak usah dipikirkan dulu ya? Brylian sama Nando, harus janji sama Mama, lakukan yang terbaik untuk negara ini!"

"Iya, Ma/Tante," aku dan Brylian kompak. 

Telepon ditutup dan kami tidak mendapatkan jawaban apapun. Brylian mencoba menghubungi Om Herman dan Tante Halida pun tidak bisa. Aneh sekali ketika satu keluarga harus menghilang untuk masalah ini. Apa mereka setega itu meninggalkan semua kenangan yang sudah kita jalani lebih dari 10 tahun? Itu waktu yang sangat panjang.

TriangleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang