Chapter 25

1.5K 180 18
                                    

Pulang sekolah dengan dua kebanggaanku, kebanggaan Indonesia, mereka sekarang jadi idola, sampai kemana-mana harus membawa masker. Entahlah, katanya mereka bangga, tapi mereka tidak mau diusik ketika ingin menikmati waktu layaknya orang biasa. Sejak tadi pagi saja mereka dikerubuti teman-teman, Kakak kelas dan Adik kelas yang minta foto. Bahkan ada banyak yang memberikan kado, kupikir mereka akan biasa saja karena setiap harinya juga sudah mengenal mereka kan. Tahunya setelah juara banyak yang ngantri pengen foto dan sok kenal.

"Anterin beli tiket kereta ke Semarang yuk?" Ajak Ernando pada aku dan Brylian.

"Hah?" Sahut Brylian seolah terbangun dari pikiran kalutnya.

Entahlah dua anak ini ada masalah apa hari ini? Gagal fokus, banyak melamun, banyak pula memandangku dengan tatapan aneh. Seperti banyak hal yang mereka pikirkan. 

"Ayolah, tapi beli apa gitu dulu ya? Laper," keluhku.

Brylian memandangku. "Ah dasar Za si kebo perut gentong," celetuknya.

"Untung tetep kurus, tapi kekurusan, kaya Petruk!" Ucap Nando mengusap kepalaku, aku menyukai usapannya tapi tidak dengan perbandingan dalam kalimatnya.

"Ishhh!" Desahku kesal.

Ernando mengeluarkan cokelat dari dalam tasnya. "Nih," memberikan padaku. 

Aku ingat betul ini cokelat dari Kak Andira, masih ada pita pinknya. "Tapi kan ini dari Kak Andira buat kamu, Tar. Nggak menghargai yang kasih nih!"

"Bukan tidak menghargai, Za. Kalau kamu kasih barang ke aku, barang itu jadi milik siapa?" Seolah dia mendikteku untuk menemukan jawaban. "Milik aku kan, kalau barang itu sudah jadi milikku, ada nilai hak di sana. Hak mau aku apakan barang itu."

Menoleh pada Ernando. "Tetap saja kasian Kak Andiranya, Tar. Udah susah susah kasih kaya gini buat kamu."

"Kasian orang tuanya, Za. Paling belinya juga dari uang orang tuanya. Tak masalah, kasian perutmu."

Brylian sedikit tertawa. "Sutar mah kalau dikasih barang tapi dia nggak suka, apalagi nggak suka sama orangnya, untuk menghargai pasti diterima tapi setelah itu, entah kemana. Lebih lagi kalau yang kasih cewek, keknya dia homo Za, anti cewek."

"Sue lu!" Menoyor kepala Brylian.

Ya, mau tidak mau aku menerima cokelat ini, pengen ngemil juga, merasa lapar juga.

Kami naik kendaraan umum untuk menuju ke stasiun, biasanya Ernando memang memesan tiket sehari sebelumnya agar tidak terkesan terlalu mendadak, jadi besok waktu mau berangkat tinggal menukarkan saja. Terkadang dia juga naik pesawat tapi lebih banyaknya dia suka naik kereta, mungkin karena waktu kecil kita sering naik kereta dari Sidoarjo ke Surabaya hanya untuk pamer besok paginya ke sekolah, pamer kalau sudah naik kereta.

Pulang dari membeli tiket, kami pulang pun dengan kendaraan umum, sambil sesekali bercerita ini itu tentang kehidupan. Entah kenapa dua sahabatku ini, tumben mereka mau membahas semacam itu, biasanya yang kami bahas hanya bola dan bola bukan lagi hidup.

"Za, jika hidupmu tanpa sahabat, tapi kamu punya kekasih yang bisa menjadi sahabatmu, kamu mau?" Tanya Brylian membuatku dan Ernando langsung menoleh padanya.

Menghela napas panjang. "Menurutku keduanya tidak sama, sahabat tidak akan pernah pergi, sekalipun dia membentang jarak, dia tetap tahu kapan dia akan kembali. Tapi kekasih, dia bisa pergi tanpa pernah mau kembali karena filosofi mantan hanya pernah dijalani tanpa pernah kembali."

Brylian menatapku cukup dalam, lebih tepatnya dia tertegun dengan ucapanku.

"Lantas kamu lebih pilih sahabatmu?" Tanya Ernando.

TriangleDonde viven las historias. Descúbrelo ahora