Chapter 66

1.1K 152 9
                                    

Ernando Point of View

Usai dihukum Mama, aku dan Brylian duduk di tepi lapangan dekat kompleks perumahan kami. Tempat di mana Za mulai bercerita tentang kami. Tentu masih ingat ketika aku dan Brylian ada di bahunya. Tepat di tempat itu pada jam yang hampir sama, dersik angin yang mirip. Aku rindu Za, tapi belum ada keberanian mencarinya di rumahnya.

"Kamu masih ingin memiliki Za?" Tanya Brylian menatap langit dengan gumpalan beberapa awan.

Aku diam.

Lapangan ini biasa menyenangkan, tapi kali ini nampak buram. Meski beberapa kenangan indah kembali terputar bak film hitam putih, tapi itu semua membuatku begitu bodoh saat ini.

"Gue, eng, aku cuma ingin bertemu Za. Tidak peduli apa yang akan dia lakukan padaku nanti, aku hanya ingin tahu apa sahabatku baik-baik saja," jawabku menatap rumput kotor yang bergoyang di antara beberapa lubang genangan.

Brylian diam. Dia mulai sandarkan kepalanya di bahu kananku.

Sekian lama.

"Aku rindu persahabatan yang dulu. Aku tak siap untuk kehilangan Za, itu kenapa aku benci jatuh cinta. Sebab usai jatuh cinta itu artinya kita bersiap untuk kehilangan."

Aku mengangguk setuju. "Lebih baik mencintai dalam diam daripada harus kehilangan karena jatuh cinta ialah alasan."

"Jadi kamu masih ingin memilikinya?"

Diam sejenak. "Iya, ingin memilikinya sebagai sahabatnya. Kalaupun dia pilih kamu, aku tidak masalah asal terus bisa melihat setiap senyum yang dia kulum. Kamu masih ingin memilikinya?"

Menggeleng. "Siapapun yang dia pilih, hati tak mudah membelok jika bukan karena Tuhan. Jadi tidak masalah bagiku, asal di dekatnya dan dia bahagia."

Kami nikmati kembali setiap angin yang menghembus, setiap dersik yang menentramkan meski sesekali mengutuk kesalahan bulan lalu. Negara telah memberiku kesempatan untuk mengabdi tapi tak kugunakan dengan maksimal. Persahabatanku hancur, cinta menghilang entah kemana. Menyakitkan sekali.

Mulai menyadari setiap kesalahan yang mendewasakan, mulai meminta maaf, mulai ingat bahwa Za adalah milik Zico dan itu paling menyakitkan tetapi harus diikhlaskan.

Aku dan Brylian berjalan pelan menuju rumah Za, tetapi mempercepat dan memperlebar langkah begitu mendapati ada Mak Jum di teras rumah. Yang aku pikirkan pertama ialah, Za ada di rumahnya, dia pulang,dia siap menemuiku dan apa-apa yang indah dalam bayanganku. Namun kenyataannya berbanding terbalik.

"Za ada, Mak?" Tanyaku.

"Ndak ada, Mas. Mbak Za kan pindah ke Surabaya."

"Hah?" Brylian paling cepat menanggapi. "Sejak kapan, Mak? Minta alamatnya dong. Emang nggak balik ke sini lagi gitu?"

Mak Jum menggeleng. "Saya juga ndak tahu, Mas Bry. Mbak Za ndak ninggalin alamat, pesan apapun ndak ada. Saya cuma disuruh jaga rumah sudah. Pak Herman sama Bu Halida juga ndak pernah menghubungi saya tapi gaji saya lancar-lancar saja lewat anak saya."

Aku dan Brylian saling memandang. Apakah artinya aku kehilangan? Seniat itukah Za meninggalkan kami? Apa sejahat itukah kami dengan Za?

"Tapi, Mak. Masa' Mak Jum nggak tahu dimana alamat Za di Surabaya?" Tanyaku sekali lagi mencari informasi.

"Tepatnya dimana ndak tahu, Mas. Cuma tahu ke rumah neneknya."

"Neneknya?" Brylian menyahut.

Mak Jum mengangguk.

Brylian melangkah pergi dengan lesu, aku hendak mengikutinya tetapi Mak Jum menahan langkahku.

"Mas, ada surat kok yang ditinggalkan Mbak Za di kamarnya."

TriangleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang