Chapter 52

973 133 25
                                    

Brylian Point of View

"Gue nyesel kita pernah kenal, gue nyesel waktu itu kenapa gue harus deketin lo duluan dan ngajak lo main bola, gue nyesel dan gue sama sekali nggak bersyukur dengan kehadiran lo ke Sidoarjo. Seandainya lo nggak datang, di dunia ini cuma ada kisah gue dan Za!" Pekikku ketika Rendy menahan amarahku dengan badannya, dibantu Komang Teguh.

"Oh jadi gitu? Lo pikir gue nggak nyesel? Seandainya gue nggak minta Papa pindah ke kompleks lo, gue akan lebih dekat sama Za, satu kompleks, lebih banyak bertemu!" Balasnya menunjuk-nunjuk dan amarahnya di tahan oleh Vedhayanto juga Amanar.

"Kalian kenapa sih?" Fajar bertanya-tanya dengan sedikit logat timurnya yang mulai pudar.

Tak banyak yang tahu secara pasti, kecuali rombongan orang-orang pemilik hormon emak-emak yang suka gosip. Macam Zico, Rendy, Bagas, Bagus, David sebagai pemimpin, semacam itu pasti tahu masalahnya. Tapi kalau yang pendiam atau yang waktu luangnya lebih baik digunakan untuk menghubungi pacar, tahu masalah kami pun mungkin hanya secuil.

Dan iya, hari ini usai latihan, ketika orang sibuk packing, kami gemparkan lagi hotel kecil ini. Kami beradu mulut, mengklaim siapa yang akan lebih dulu mendapatkan jawaban Za, dan kami saling menghantam lagi. Padahal Dokter Timnas baru saja mengobati luka lebam kami.

Dokter Timnas dan jajaran pelatih mengira ini karena persaingan ketat kami di Timnas U-16, tapi sejatinya, tim ini tak pernah ajarkan persaingan biadab, semua penuh dengan adab. Toh kami akan saling mendukung bagaimanapun itu demi negara. Masalahnya yang ini lebih pelik, dan tidak mungkin diceritakan pada jajaran pelatih.

"Arggghh! Pokoknya lo berhenti menghubungi Za!" Ancamku ingin sekali dia enyah jauh-jauh dari kisah indahku dengan Za.

"Lo siapanya? Tuhan juga bukan pakai ngelarang-ngelarang!" Balas Nando tak kalah sadis.

Bagus yang tadinya berdiri tiba-tiba saja jatuh tersimpuh, macam anak kecil menggelinjang di lantai.

"Aku sebel, sebel, banget! Zico lo balik kek, teleponnya udahan, lerai dulu nih! Capek gue capek!" Malah semakin parah dengan berguling-guling macam anak kecil minta jajan tapi nggak dibolehin.

David menepuk jidatnya, wajahnya semakin frustasi. "Ini tim apa sih? Dari negara mana sih? Orang kembar berantem nggak ada liburnya, dua sahabat pecah karena perempuan, yang playboy nggak ketulungan juga ada, nambah pula yang kek orang kesurupan!"

Supriadi mengusap punggung David, memberikan kekuatan dan hiburan singkat.

"Gue juga sama pusingnya, Capt! Kalian bisa nggak sih jangan berantem sekarang, mengedepankan negara dulu! Habis kita ke Piala Dunia, kalian mau saling bunuh juga nggak masalah!" Umpat Bagas.

"Nah! Ini kalian sadar nggak sih banyak orang kalian korbankan?" Rendy pun tak mau kalah.

Zico datang, meletakkan ponselnya di atas tempat tidur. "Gue habis ngomong sama Za."

"Lo ngapain sih telepon Za?!" Aku dan Nando kompak. 

Mengerlingkan mata. "Gus, Gus, hidup emang kadang gitu. Apa yang menurut kita baik belum tentu dipandang baik orang lain," bergumam pada Bagus.

"Iya, bener. Begitulah nitizen, apa yang baik buat kita adalah keburukan buat mereka," balas Bagus.

Dua orang itu kadang labil, lebih banyaknya ngelantur pula. Seolah ingin menjadi penengah tapi kadang malah mengalihkan fokus pembicaraan hanya pada mereka, bukan pada pertengkaran kami.

"Zico, pokoknya gue harap lo nggak deketin Za lagi!" Ancamku malas mendengar celotehan Bagus dan Zico.

"Jangan ada niat buruk karena lo datang cuma untuk memperburuk!" Tekan Nando mengibaskan tangan Vedhayanto dan pergi dari kamarku.

TriangleWhere stories live. Discover now