Chapter 30

1.3K 165 6
                                    

Ernando Point of View

Kembali dari Semarang ke Sidoarjo, mengunjungi kerinduan yang telah terpendam. Sungguh menjadi satu kesalahan yang sangat nyata ketika aku sadari tanpa Za ada ruang kosong yang seharusnya diisi dengan cinta. Jika Brylian ialah bahu, sahabat yang entah kapanpun tak terganti, Za justru punya posisi yang sangat inti. Ia benar, ia ialah definisi masa remajaku soal cinta.

Sayangnya, meski Semarang menyadarkan kerinduan dan Cinta pada Za, Sidoarjo akan membungkamnya. Daripada cinta, lebih penting persahabatan ini. Aku tak ingin seperti apa yang dibilang Zico, tentang persahabatan kami yang akan berubah menjadi Segitiga Bermuda yang menelan korban jiwa.

Hari ini kabarnya dua sahabatku tak akan menjemput, sekolah katanya. Jadi kami baru akan bertemu siang nanti. Itu pun kalau Za nggak ada les, dan itu pun kalau Brylian nggak tidur siang.

Sampai di rumah, hanya disambut Mak Ti, asisten rumah tangga di rumah dan hanya ada foto kedua sahabatku di dinding kamar. Selalu sepi semacam ini kalau kedua orang tuaku harus di Semarang untuk urusan bisnis. Sebenarnya bukan bisnis yang wah juga sih, hanya bisnis keluarga kecil saja, bisnis gas.

Merebahkan tubuhku, sambil terus melakukan chatting intens dengan Saddam juga Alip, mereka bilang Inka marah sebab mereka hanya mengantar Inka bertemu denganku setengah jam saja. Malas aku banyak-banyak bicara sama Inka, perempuan itu terlalu agresif sebagai seorang perempuan. Kadang laki-laki juga mikir dua kali mau deketin perempuan agresif, yang jinak-jinak merpati itu lebih menarik.

Dua temanku di PPLP Jateng itu lama-lama geram juga, setiap waktu dicari Inka hanya untuk bisa berhubungan denganku. Sayangnya sulit juga, sejak aku sering ke Sidoarjo, sejak SMP ketika kami bertemu kembali dan dia sudah menjelma menjadi perempuan agresif, aku memang risih sebab kehadirannya. Meski sebenarnya kami berteman sejak TK, dulu pernah menangis karena pisah dengan Inka semasa SD, tapi setelah bertemu dengan Brylian dan Za, seperti tak ada arti penting di antara kami kecuali kenangan masa kecil.

Bosan dengan keluhan temanku tentang Inka, aku memejamkan mata, menikmati waktu luang tanpa sekolah. Toh dua sampai tiga hari lagi aku harus segera terbang ke Jakarta untuk melakukan TC menjelang AFC U-16 di Malaysia, tentu bersama Brylian dan harus meninggalkan Za. Butuh istirahat cukup dengan mepetnya waktu yang diberikan. 

"Sutar!" Bentak kedua sahabatku masih dengan seragamnya berada di tepi tempat tidurku.

Membuka mata dan mendapati jam dinding kamarku menunjukkan pukul 13.37 WIB, membuatku mengerjap. "Belum sholat dhuhur aku? Duh, bisa kena azab!" Gumamku lantas mengambil air wudhu.

"Ha ha ha," tawa kedua sahabatku.

Bersimpuh sambil ditunggui kedua sahabatku, tak lupa aku sebut nama mereka di ujung perbincangan dengan Tuhan. Aku ingin tetap bersama mereka, entah berapa tahun saja, meraih mimpi, menikmati indahnya negeri, melewati masa kehidupan yang pelik, dan lain sebagainya. Aku tetap ingin bersama mereka, bahkan ketika aku harus merelakan Za kepada orang lain, asal jangan Brylian, rasanya aku tak ikhlas dengan itu.

Kalian tentu pernah merasa tak ikhlas ketika seseorang yang telah membuatmu jatuh menjadi milik orang lain. Begitupun denganku, ada ketidakikhlasan yang aku rasakan jika Za harus menjadi milik Brylian. Selain karena akan lebih menyakitkan ketika sahabat sendiri pun akan menyakitkan jika persahabatan ini bubar begitu saja.

"Kok jadi kaya aku sih, Tar? Kebo!" Tegur Za setelah aku mengusapkan kedua telapak tanganku ke wajah, penutupan dari setiap doa yang aku panjatkan.

"Capek, Za," keluhku melipat sajadah.

"Capek karena semalam begadang sama Inka ya?" Tebak Brylian membuat moodku kembali jatuh.

Inka lagi, Inka lagi.

TriangleWhere stories live. Discover now