Chapter 27

1.3K 168 10
                                    

Ernando Point of View

Kulo nuwun, Semarang, aku kembali setelah menghabiskan banyak waktu di Sidoarjo. Apa kabar kota kelahiran? Tempatku mengukir sejarah dan menciptakan kenangan indah, meski dari sekian banyak kenangan indah dalam hidupku terjadi di Sidoarjo. Itu karena Za dan Brylian, dua sahabatku, definisi masa remajaku. Meski begitu, Semarang adalah tempatku pulang, sejauh apapun aku melanglang.

Siang hari sampai di Semarang aku langsung menuju balai walikota Semarang, bertemu lagi dengan si Kembar Bagas dan Bagus juga bertemu dengan Vedhayanto. Sejujurnya kalau Vedha sudah sering bertemu di PPLP Jateng, tapi kalau si Kembar, malah lebih banyaknya bertemu sebagai lawan. Mereka awalnya tidak masuk PPLP, lebih pilih di SSB, namun beberapa kali dia juga bergabung dengan PPLP secara rutin.

"Wah ini si Sutar, kagak barengan sama dua sahabatnya," sapa Bagas yang sudah datang lebih dulu.

Aku tersenyum. Dia akhirnya ikut memanggilku dengan Sutar karena ulah Brylian dan Za, mereka akan sariawan kalau memanggilku dengan Nando. Bahkan ketika mereka memanggil Sutar, Papa sering ikut menoleh, gitu juga mereka nggak pernah kapok. Heran, bisa jadi besok mereka kena azab aku nggak bisa bantu. Ha ha ha.

"Btw gimana kabar detak jantung buat Za?" Celetuk Bagas membuatku tersedak ludah sendiri.

Malam itu ketika TC, Bagas memang mendapatiku sedang melamun di jendela kamar, tak hanya Bagas, Rendy juga malam itu ada. Siangnya Za menemuiku dan Brylian, malamnya aku memikirkan. Apalagi setiap kata Zico seolah menyadarkan. Ketakutan sering sekali terjadi, belum lagi aku yang dulu acuh dengan ritme jantung sekarang menjadi pemerhati.

Dan kembali lagi pada malam itu, ketika diskusi ringan dimulai. Aku hanya bertanya apakah detak jantung dengan ritme menggebu pada sahabat sendiri itu wajar? Mereka, Bagas dan Rendy punya jawaban yang berbeda. Rendy meyakinkan aku kalau sahabatku perempuan, sudah pasti itu aku jatuh cinta. Kalau laki-laki, sudah pasti aku homo katanya. Sementara Bagas, dia bilang, dua detak itu terkadang sama. Bisa saja hanya perasaan nyaman yang berubah seolah itu cinta, padahal kenyamanan itu ada sebagai sahabat, ada yang memang karena cinta. Bagas memintaku menelisik lagi. Jadi wajar jika dia menanyakan hal itu sekarang ini.

"Belum juga dapat jawaban?" Tanyanya lagi.

Aku hanya tersenyum.

"Saat kamu jauh dari Za, rasakan apa artinya detak jantungmu!" Tegas Bagas yang sadar bahwa aku belum mengerti.

Dia berjalan meninggalkan aku sementara Vedha tertinggal di belakang karena mengurus game di ponselnya. Menyusul Bagus yang datang terlambat nantinya.

Di dalam balai kota, kami bercengkrama dengan petinggi kota Semarang, kami disambut hangat dan dipuja-puji telah berhasil membawa Indonesia menjuarai piala AFF U-16. Sayangnya, sebenarnya, bukan itu yang aku harapkan, tak lain adalah kritikan, petuah, saran, nasihat dan lain sebagainya. Sebab di usiaku yang rentan adalah ketika aku terbang terlalu tinggi dan jatuh terlalu dalam. Usia masih labil, belum mengerti bagaimana menyeimbangkan pikiran, keinginan, keimanan, dan tekad.

Tapi ya apalah, yang sering menerbangkan malah pejabat, wartawan, dan orang-orang penting lainnya. Dulu ketika kami bukan siapa-siapa, apa ada yang mau menerbangkan agar kami sedikit percaya diri? Tidak, semua kesilauan memang hadir ketika kita menjadi apa-apa, bukan ketika kita belum apa-apa. Sudah hukum alamnya semacam itu, tidak perlu kaget.

Sepulang dari balai kota, aku langsung pulang ke rumah, Mama sudah menunggu di sana. Tadi pun sudah menelponku berulang kali, sampai geli rasanya ponsel bergetar di saku celanaku.

Semarang memang indah, segala macam sejarahnya, baik tentang Semarang sendiri, tentang Indonesia, bahkan tentang diriku sendiri. Tapi ketika kembali, selalu saja aku ingin pergi, menemui Za yang selalu membuat Semarang menjadi kota penikmat kerinduan. Bayangan tentang Za selalu saja sekelebat datang, sesekali aku berpikir saat mengingat Za, bagaimana jika Brylian pun punya rasa yang sama? Dari tatapannya, aku tahu dia simpan sesuatu yang menggebu-gebu. Sayangnya aku tidak bisa memastikan itu secara lisan pada Brylian, aku takut persahabatan ini justru terpecah belah hanya karena perasaan yang belum memiliki sertifikat kepastian.

TriangleМесто, где живут истории. Откройте их для себя