Chapter 75

1K 146 81
                                    

Rindu itu terkadang mirip dengan mahasiswa yang mengatakan bahwa dirinya tidak apatis terhadap keadaan negerinya. Ia kadang meronta-ronta, melakukan hal-hal anarkis, hanya untuk bisa mencapai kata temu. Rindu itu terkadang mirip dengan sebuah sajak. Indah, menjadi candu, mengalun dengan intonasi, dan berujung pada pengharapan temu.

Kerinduanku padamu pun sama, terkadang hatiku meronta, memekik ingin menemuimu. Dan cara anarkisku ialah memaksa kaki yang tak mengerti untuk berjalan ke arahmu, bahkan meski ribuan mil kita terpisah jarak. Kerinduanku semacam itu, keindahan yang selalu candu, mengalun lambat, bergerak ke arahmu.

Satu hal beda dari rinduku, menatapmu, berbicara padamu, menghubungimu, rinduku tidak seberani itu. Ia hanya meronta dan anarkis dalam diam. Ia hanya tampakkan keindahan bersajak pun dalam diam. Sebab kamu terlalu berharga untuk kusentuh dengan rinduku.

Merebahkan tubuhku di atas tempat tidur kecil, hanya separuhnya dari tempat tidurku di Indonesia. Maklum, hidup di negara orang, keluarga kami tak semacam sultan. Benar Papa usaha di sini tapi tidak semudah itu.

Yang aku pikirkan saat ini ialah ia, pencipta rindu yang sangat ulung. Yang kehadiran indahnya terlambat aku sadari, tapi tidak pernah pula ingin aku miliki.

Kling...

Ponselku berdenting, mungkin dari dia, seseorang yang begitu kurindukan.

Brylian A
Ini seriusan, Za?
Aku nggak nyangka banget kamu menghubungiku.
Eh tapi nggak coba hubungin Nando, Za?

Aku menghela napas pelan.

Anda
Iya
Besok saja aku hubungi dia
Aku mau tidur dulu

Hanya itu dan langsung aku matikan ponselku. Entah salah atau tidak keputusanku ini. Jika mereka memang sanggup kembali seperti dulu tanpa melibatkan perasaan, aku pun harus melakukan hal yang sama. Tetapi masalahnya tidak semudah apa yang dikatakan Ferguso. Rasa, kerinduan, dan inginnya kebersamaan itu beradu.

Melempar ponselku dan keluar menemui Mama. Biasanya kami akan mengobrol di ruang tamu sambil menikmati teh khas Indonesia, kiriman dari Om.

"Eh, Za, kebetulan Mama dengar Nando sama Brylian ada di Birmingham. Emmm, bukannya sudah saatnya untuk kalian saling memaafkan?" sambutan Mama cukup mengejutkan, tahu saja anaknya ini mungkin akan mencurahkan tentang Nando dan Brylian.

Aku diam, duduk di sebelah Mama.

"Nggak baik memutus hubungan persahabatan semacam itu, apalagi karena perasaan. Sakit pasti tapi akan mendewasakan untuk mereka. Toh perasaan itu nggak salah kalau Mama bilang, Za. Emang kita bisa atur hati kita sendiri?"

Ya memang tidak ada yang bisa mengatur hati kepada siapa cinta itu akan diberi. Kenyataannya tanpa aku atur pun, hatiku menemukan kerinduannya sendiri.

"Kalau kita bisa atur hati kita sendiri, Mama sudah pasti akan atur hati Mama untuk jatuh cinta sama Pak Jokowi atau Pak Prabowo, akan Mama bawa beliau ke jalan yang benar bahwa ambisi akan kekuasaan itu sungguh tidak dibenarkan. Ada haditsnya kok, yang intinya kalau seseorang meminta kekuasaan atau jabatan maka ia tidak akan dibantu oleh Allah SWT. Tapi kalau diberi kekuasaan atau jabatan, jika pemimpin itu mengingat Allah SWT maka akan dibantunya."

Aku hanya memandang Mama datar, April 2019 nanti memang bulannya demokrasi. Tapi tidak begini juga kan, masalah hati anaknya jadi dipolitisasi.

"Pokoknya nanti siapapun yang menang, yang kalah nggak boleh bikin masalah. Jabatan dan kekuasaan itu sejatinya milik Allah SWT, jika diberikan pasti akan diberikan tanpa meminta."

"Cukup, Mama! Pusing Za kalau bahas politik. Isinya orang nyinyir, julid, saling membenci, teriak saling curang, capek, Ma."

Mama tersenyum lalu mengusap kepalaku.

TriangleWhere stories live. Discover now