Chapter 18

1.6K 190 19
                                    

Ernando Point of View

Aku Ernando, yang biasa disapa Nando dan kedua sahabatku memanggilku Sutar. Kalian tentu sudah tahu banyak hal tentang kami, terlebih dari kaca mata Za. Satu-satunya perempuan di antara kami. Jika bumi bisa digambarkan dengan globe, maka masa remajaku bisa digambarkan oleh Za dan Brylian. Sejak kecil mereka telah membersamaiku, bahkan ketika keluargaku harus jatuh bangun, bolak-balik Semarang-Sidoarjo. Merasakan bagaimana kehilangan salah satu dari 3 wanita yang selalu ada untuk kami. Dan sekarang, merasakan bagaimana menerbangkan Garuda. Meski hanya aku dan Brylian yang ada di lapangan, tetapi keberadaan Za di tribun itu penting bagi kami.

Iya, malam ini aku mampu menepis 2 tendangan pinalti Thailand dan berhasil mempersembahkan gelar juara untuk Indonesia pertama kalinya. Mengulang sejarah Timnas U-19 tahun 2013 di stadion yang sama. Seperti Ravi Murdianto, Putra Daerah Jawa Tengah yang juga penjaga gawang Timnas U-19 waktu itu, mampu pula menepis dua tendangan pinalti. Ini semacam Dejavu tapi Timnas U-16 yang melakukannya 5 tahun berselang.

Dulu aku, Brylian dan Za duduk di tribun, berdesak-desakan dengan orang dewasa tapi tetap bersorak penuh semangat untuk Evan Dimas dan kawan-kawan. Sekarang, aku dan Brylian menjadi salah satu dari sekian puluh orang yang disoraki ribuan bibir.

Setelah membangkitkan Brylian, aku menarik bahunya, membawanya ke arah tribun VIP dimana keluarga kami dan Za ada di sana. Aku tak pernah ingin melihat Za ataupun Brylian menangis, rasanya tak suka saja entah kenapa. Tapi bagi Brylian malam ini pasti cukup menyakitkan dan menyenangkan. Kehilangan seorang Mama tak pernah aku bayangkan sebelumnya, itu pasti berat untuk Brylian apalagi dia dekat dengan Mamanya.

Bagiku pun Tante Isnaini bukan hanya teman dari Mamaku, bukan pula hanya Ibu dari sahabatku, beliau lebih dari itu. Jika Mama tak ada di Sidoarjo, Tante Isnaini dan Tante Halida lah yang akan mengurusku. Maka ketika Tante Isnaini pergi, seperti ada bagian hidupku yang hilang. Tapi, ketika Allah mengambil satu nyawa manusia, bukan berarti manusia yang lain hidupnya berhenti, tetap harus berlanjut.

Sekali lagi aku memeluk Brylian, singkat saja daripada dikira homo. "Tante tersenyum untuk kamu, Bry."

"Terima kasih, Tar. Aku nggak tahu kalau nggak ada kamu dan Za, apa kabar dengan jalan hidupku."

Aku mengangguk. "Nggak pengen bilang 'jangan pergi dari aku ya, Tar?' Misalkan. He he he."

Brylian langsung menatapku aneh. "Mending kamu pergi aja deh dari aku, Tar! Kok jadi jijik!"

"Ye biasanya kamu yang gitu aku nggak sampai ngusir kamu walaupun jijik, sekarang kamu usir aku? Oh oke, fix, aku pergi," candaku melangkah menjauhinya.

Brylian mengejarku yang berjalan mendahului Bagas dan Bagus, dia merangkulku dari belakang setelah menyamai langkahku. "Tar, tahu nggak aku tanpa kamu itu apa?"

"Apa? Butiran debu? Kek sayur lodeh kemarin sore, basi!"

Aduh, mulutku kadang tidak bisa dikontrol, kondisi macam apa pula ini malah seperti cowok lagi nggombalin cewek.

"Ye, aku tanpa kamu itu kaya main bola tanpa wasit, nggak ke kontrol, suka melakukan pelanggaran, tanpa aturan."

Aku langsung melepas rangkulan Brylian. "Aku merasa seperti perempuan yang lagi kamu gombalin! Jijik!" Sekali lagi meninggalkan Brylian.

Padahal aku sendiri setuju meski terkesan aneh, tapi benar, aku tanpa Brylian pasti ada yang kurang, aku tanpa Za pun begitu, aku tanpa mereka seperti main sepakbola tanpa wasit pun tanpa suporter. Semacam separuh sendiri hilang dari hidupku. Aku hanya ingin bercanda saja hari ini dengan Brylian, daripada dia terus menangis mengingat Tante di atas sana.

TriangleDonde viven las historias. Descúbrelo ahora