1. Firasat

7.6K 170 60
                                    

"Pertama melihatmu itu biasa, tapi lama-lama jadi istimewa"

'Lo itu ya, jadi anak jangan songong deh! Jutek, dingin, sinis, apalah, gue muak sama lo. Gue pingin lo ngerubah mindset. Pokoknya kalau lo nggak ngerubah itu semua, jangan harap lo akan bertemu gue lagi. Gue pergi!'

Verdi terbangun dari tidur lelapnya, rupanya tujuh jam terlelap dan sesekali terjaring dalam dunia mimpi itu mengenakkan. Apalagi saat mimpi itu terdapat 'dirinya'—orang yang sangat disayang, pasti ingin sekali berlama-lama dan tidak ingin melihat dunia nyata dengan segera, iya, bukan?

Namun ini berbeda, Verdi sama sekali tak mengenal gadis yang turut serta dalam mimpinya tersebut, ia berbicara seolah gadis itu sudah mengenal dirinya lama.

'Siapa?' batinnya.

Verdi langsung mengusap mata cokelat itu dengan amat menunjukkan sikap acuh, mengacak rambutnya kesal dan melirik jam di atas nakas. Menguap beberapa kali adalah salah satu kewajiban dirinya di samping mengembalikan stamina di waktu pagi.

Jam tujuh. Baginya, ini masih terlalu pagi untuk mengawali sebuah aktivitas. Verdi kembali menidurkan tubuhnya dan melamun menatap langit atap.


Dokk!! Dokk!! Dokk!! Dokk!!

Lamunannya buyar ketika suara nyaring datang dari luar pintu kamar. Teriakkan serta gedoran yang memekakkan.

Alhasil, gedoran itu membuat telinga Verdi memanas yang akhirnya diikuti kaki yang tiba-tiba berjalan dengan lesunya. Ia mendekati pintu berwarna cokelat tua dengan langkah super gontai.

"KAK BANGUN, UDAH JAM TUJUH LEBIH! NGEBO AJA LO KERJAANNYA!!" teriaknya sekeras dari yang pertama.

"KALAU LO TERUS-TERUSAN KAYAK GINI, MANA ADA CEWEK YANG MAU DEKET SAMA LO. KAK BANGUN!! GUE DOBRAK NIH!!" Verdi langsung membuka pintu saat Vanya hendak mengambil posisi untuk mendobrak pintu itu.

Verdi pun turun ke ruang makan tanpa memperhatikan seseorang yang kini berada di hadapannya. Apa ia tak melihat bidadari sekarang?

Vanya berdesis, melipat tangan sembari menatap tajam kepergian Verdi yang semakin jauh.

"Itu kalau bukan kakak gue, udah gue buat seblak dia! Gue kasih bumbu ekstra pedes yang lebih dari level setan sama mercon terus gue santap habis-habisan. Kesel lama-lama punya kakak begitu terus." dumelnya tak kira-kira karena saking gemas melihat tingkah itu. Ia membuntuti dengan segera.

Cowok berrahang kuat itu masih berjalan menuruni tangga dengan kedua tangan berada di saku celana. Mata dinginnya menatap jauh dimana meja makan itu berada.

"Ver, sini, kita telat sarapan lima belas menit dari biasa dan itu gara-gara kamu." ujar seorang pria dengan nada berat.

Verdi diam seribu bahasa, ia masih berjalan menuju ruang makan dengan sangat santai dan langsung menyambar makanan di hadapannya setelah sampai. Bukan apa, ia hanya khawatir jika dua irisan daging itu keburu diambil oleh Vanya.

Vanya pun sontak merasa jengkel saat kecepatan berjalannya bertambah, dalam hatinya ingin mengumpat kasar. Namun apalah daya dirinya di depan kedua orang tua? Hingga respon yang ia tunjukkan hanyalah melipat kedua tangan di depan dada dan melirik sadis cowok yang tengah asyik dengan santapan itu.

VerDinda [SELESAI]Where stories live. Discover now