39. Pesan Terakhir

815 28 0
                                    

"Tanpa kamu, aku bisa apa?"

"Ver, kamu nggak marah kan sama aku?" tanya Dinda terus-menerus, mengulang setiap pertanyaan tanpa ada jawaban yang berbeda dari mulut Verdi.

Tidak. Itu dan itu secara berulang.

"Enggak, Din, ngapain aku marah sama kamu kalau nggak ada hal yang jelas terlihat?" Verdi membalasnya dengan kerutan dahi serta tatapan yang berubah hangat.

Jelas-jelas Verdi tidak menunjukkan ekspresi marah sedikitpun, hanya saja wajah yang sekarang nampak sedikit pucat pasi. Dinda memang tak menyadari karena wajah Verdi yang tertutup warna seperti putih salju.

"Ya karena aku tadi ninggalin kamu sendirian di sana."

Pria itu membuang nafas kasar. "Udah berapa kali aku bilang, hm? Aku nggak marah sama sekali sama kamu, jadi stop tanya seperti itu. Paham?" ujar Verdi semakin kesal, menatap wajah gadisnya yang terus merasa khawatir.

"Tapi kan aku khawatir sama kamu, bisa jadi kamu nutupin ses—"

"Sayang?" panggil Verdi membuat Dinda terdiam. "Percaya sama aku."

Dinda memilih tersenyum paksa lalu mengangguk. Sebuah taktik untuk meredam hawa panas dalam hati, bukan? Ya, daripada menyeimbangi perkataan Verdi yang semakin kesal, bisa-bisa terjadi percek-cokkan di dalam mobil ini.

"Terus kenapa mood kamu tiba-tiba turun gitu kalau nggak karena masalah tadi? Sebelumnya kan kamu tadi senyum terus sama aku, bisa becanda sama jahil-jahil gitu." tangan Dinda terlipat, seolah sedang marah dengan sikap Verdi yang bisa dikata 'berubah'.

"Mikirin sesuatu."

Dinda melengo cepat. "Mikirin apa?" tanyanya waspada, "cewek lain?" lanjutnya dengan hati-hati dan menggoda, hanya terselip niat mencairkan suasana.

"Iya." balas Verdi tak mau kalah. Ia mengiakan perkataan itu?

Bagaikan dihujani batu, Dinda langsung tersentak mendengar ucapan Verdi beberapa detik yang lalu. Apa dia sudah gila? Kenapa pria itu masih terus bersamanya? Kenapa ia baru mengatakannya sekarang? Apa pantas, memertahankan sesuatu yang sudah tidak menginginkannya lagi?

"Siapa yang berani singgah di pikiran kamu, hm? Biar aku ladenin sini. Siapa? Hm? Siapa? Jawab!" tantang Dinda berlagak. Menatap Verdi dengan sinisnya.

"Mama aku," jawab Verdi beralih memandang Dinda yang sedikit menampakkan kekagetan. "Kenapa, nggak jadi ladenin dia?" tantang Verdi menguak perkataan Dinda barusan.

Dinda malah nyungir kuda mematung sekejab.

"Kamu ya, bener-bener ngeselin! Kamu mau kalau aku nggak direstui sama mama kamu?" balas gadis itu.

"Restui, dalam hal apa?" goda Verdi memasang wajah bingungnya.

"Menyebalkan!" desis Dinda lalu membuang muka.

Verdi tersenyum ringan, selalu saja usil dengan gadis itu. Entah lewat perkataan, sikap, maupun yang lainnya. Tapi kenapa Dinda malah semakin cinta dengannya?

"Nggak usah marah, kamu cantik hari ini. Lebih cantik dari mami barbie yang ada di sinetron TV malah." celoteh Verdi membuat pipi Dinda memerah. Namun ia masih menahannya, kembali memasang muka sedikit jengkel.

"Mami barbie? Siapa lagi dia?!" sentaknya.

"Ada lah. Besok aku belikan boneka barbie sekalian pangerannya, biar kamu bisa lihat pasangan itu, serasi kayak kita pasti." cerocos Verdi memperlihatkan wajah menggemaskan.

Pertama kali Verdi bersikap manis dan menggemaskan seperti ini di depan pacar. Ah, bukan Verdi banget itu!

"Tuh kan, gombal lagi!" balas Dinda tersipu malu. Ia paling tidak tahan jika bermarahan dengan pangeran tampan seperti Verdi, sekarang.

VerDinda [SELESAI]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ