35. Saingan Tampan

809 27 1
                                    

"Selangkah lo mendekat, seribu langkah gue maju lebih dulu."

Awan hitam sudah tidak betah berlama-lama, kini menampakkan kembali sederet awan cerah namun masih terdapat celah warna kelabu. Matahari sedikit nampak dari balik kelamnya awan, hujan sudah reda. Verdi berkesempatan untuk bergegas pergi dari sini.

Bagaimana mereka bisa pulang dengan kondisi basah kuyup seperti ini?

"Tunggu disini." kata Verdi kemudian melangkah pergi meninggalkan Dinda sendiri.

"Kamu mau kemana?"

"Bentar." balasnya membuat Dinda menurut pasrah, ia menunggu Verdi di tengah pepohonan yang cukup tinggi. Sendiri. Tubuh kecil itu sedikit menggigil kedinginan. Ia memutuskan untuk memeluk tubuhnya sendiri dan sesekali menggosokkan kedua telapak tangannya.

Ia memandang kendaraan yang berlalu lalang di depannya, tubuhnya kadang terkena cipratan air hujan yang tergenang di sebuah lekukan karena mobil atau kendaraan lain. Gembel!

"Verdi lama banget, kemana sih dia!" gumamnya kesal sambil memutar bola matanya malas, menatap kanan kiri.

"Nggak tau apa, kalau gue itu kedinginan."

Ia hampir menunggu disini lima belas menitan, pria yang ditunggupun malah belum tampak. Tubuhnya semakin menggigil, dan terlihat pucat.

"Lo sendirian?" tanya seseorang yang muncul dari balik mobil.

Pria itu cukup tinggi—hampir setara dengan tubuh Verdi. Hidungnya mancung dan gayanya cukup keren. Wajahnya terlalu tampan, mungkin Dinda dapat merasakan auranya.

Mata Dinda menyipit, memerhatikan wajah pria yang tengah berdiri di depannya. Berpikir bahwa ia tidak mengenal, siapa dia?

Dinda tidak merespon pertanyaan, ia memilih bungkam dan menggeser duduknya ketika pria itu berusaha mengambil duduk di sebelahnya.

"Gue anak baik-baik, nggak usah takut gitu. Nama gue Danis, temennya Verdi waktu SMA." ucapnya santai, nadanya bersahabat. Dinda melirik sekilas dengan wajah kikuk.

Ada hening sekejab di seberang sana, "gue nggak pernah lihat muka lo main sama Verdi." cicit Dinda to the point, gadis itu masih ragu untuk berinteraksi dengannya.

"Jarang gue keluar kelas buat sekadar main sama temen-temen, gue kebanyakan keluar masuk BK." tuturnya lalu terkekeh menatap Dinda dan sekitar. Gadis itu mengangkat sudut bibirnya, kecil. "Eh lupa, kita kan nggak se-SMA ya."

Dinda mengangguk pelan, "emang lo bermasalah di sekolah apa sampai keluar masuk BK?" tanya Dinda ragu.

"Ya begitulah," ucapnya enteng, "sebenarnya gue nggak begitu peduli dengan sekolah, buat apa gue sekolah kalau nggak ada yang dukung prestasi gue selama ini." lanjut Danis berusaha tersenyum. Ia tersenyum pahit.

"Mak... maksud lo apaan?"

Pria itu melirik Dinda sekilas. Ia menarik nafas panjang.

"Bokap sama nyokap gue pisah sejak gue lulus SMP, gue terlantar sendirian. Mereka pergi nggak mikirin anak-anaknya. Kakak gue? Dia punya gangguan jiwa sejak SMA, lalu dia memutuskan buat bunuh diri. Konyol sih emang."

"Gue sendirian ikut kakek di Jakarta, ya meskipun itu bukan kemauan gue banget. Gue anak brokenhome. Makanya sekarang gue ngelampiasin kekesalan lewat tingkah gue yang brutal gini." terangnya membuat Dinda ikut meresapi perkataan itu, ia ngeri mendengarnya. Membayangkan jika itu terjadi padanya.

"Sorry gue terlalu ikut campur dalam urusan pribadi lo. Gue nggak tau sama sekali."

"Gak pa-pa, udah biasa kayak gini. Maaf juga karena menyita waktu lo."

VerDinda [SELESAI]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum