26. Penghargaan

902 34 3
                                    

Ujian Nasional sudah berakhir dua bulan yang lalu dengan diselimuti perasaan campur aduk, mereka tinggal menunggu hasil dan menantikan kertas bertuliskan lulus atau tidak lulus. Kelulusan sudah di depan mata. Satu langkah menuju ujian masuk perguruan tinggi.

Sudah dua bulan juga Verdi menjadi kekasih Dinda. Hari-harinya, selalu diisi dengan gurauan yang berhasil mereka buat. Tidak ada satu pun air mata yang jatuh sia-sia dari mata mereka.

Mentari pagi datang menampakkan diri, sinarnya pun dapat menembus gorden putih hingga membuat seorang pria yang tengah tertidur lelap kian terbangun.

Ia mengerjapkan mata seketika lalu mengecek jam weker yang ada di atas nakas. Mata itu terbelalak saat jam sudah menunjukkan pukul enam lebih dua puluh menit. Ia langsung bergegas untuk pergi ke kemar mandi, ia buru-buru.

Setengah jam kemudian, ia rapi dengan setelan seragam osis yang membalut di tubuhnya. Dengan dasi yang terpasang rapi serta rambut yang ia biarkan jambul ke atas.

"Gila lima menit lagi gue telat!" ujar pria itu setelah melihat jam tangan yang melingkar di lengan kirinya.

Ia segera menuruni tangga lalu menuju ruang makan tanpa mengambil sepotong roti. Ia hanya berpamitan dengan keluarga kecilnya, lalu segera melajukan motornya cepat. Membuat orangtuanya menggelengkan kepala.

Di perjalanan, Verdi hanya melirik jam tangan terus-menerus. Ia takut terlambat kali ini, dulu ia pernah sekali terlambat dan mendapat ocehan dari guru BK waktu itu. Ia dihukum untuk mengelilingi lapangan sebanyak lima kali, sungguh mengenaskan.

Setelah sampai di depan gerbang, ia baru teringat akan sesuatu yang membuat hati kecilnya kembali menciut. Benar, Verdi lupa akan janjinya.

'Gimana gue bisa lupa?' lamunan buyar setelah ia teringat bahwa gerbang di depannya sudah tertutup rapat.

"Pak... Cepetan buka gerbang." Kata Verdi sambil menggoyangkan gerbang itu  membuat Pak Yatno yang saat itu tengah duduk rapi sambil minum kopi di tempat jaganya, seketika melirik pria yang berada di luar. Membuatnya berkacak pinggang sambil menatapnya.

"Ya ampun Verdi. Kenapa kamu terlambat? Udah tahu sekarang ada kegiatan, jam berapa ini sekarang? Nggak malu apa dengan status kamu yang dicap sebagai murid teladan?" ucapnya setelah meletakkan cangkir lalu keluar dari ruangan kecil itu.

"Panjang pak ceritanya. Buruan." Verdi memohon dengan sedikit senyuman yang menghiasi wajahnya. Wajah yang nampak sedikit candaan tapi terselinap ketakutan.

"Ya udah. Untuk kali ini bapak ijinkan. Tapi besok-besok, nggak akan bapak buka lagi." ucap Pak Yatno sambil membukakan gerbang yang lumayan tinggi darinya. Ia masih berdecak kesal dengan ulah Verdi.

"Besok-besok udah lulus kali, Pak," jawab Verdi sembari menuntun motor masuk. "Makasih ya pak, bakal kangen sama bapak kalau saya udah lulus." lanjutnya sopan sambil merundukkan badan menghadap Pak Yatno. Membuat penjaga gerbang itu menggelengkan kepala.

"Rupanya murid teladan bisa jadi telatan." kata Pak Yatno kembali menyeruput kopi.

Untung saja Verdi anak berprestasi dan tidak brutal. Jika tidak, mana mungkin gerbang itu bisa terbuka untuknya.

**

Di lapangan SMA Padma Widjaya kini tengah berlangsung apel pagi. Apel yang mungkin saja menjadi yang terakhir bagi siswa kelas dua belas.

Terlihat Pak Henjo sedang berkacak pinggang sambil menatap satu per satu barisan yang ada dihadapannya. Guru itu terkenal sebagai guru paling killer di SMA ini. Sampai-sampai, hampir semua siswa sering membicarakannya di belakang. Dasar ghibah.

VerDinda [SELESAI]Where stories live. Discover now