7. Menunggu Jawaban

1.5K 81 30
                                    

'Bagaimana bisa aku tidak mengaguminya? Coba beri aku satu alasan saja'
—Adinda Clara—

Malam ini Verdi berniat untuk menonton bola disalah satu stasiun TV. Ia memang sengaja tidak belajar malam ini karena ia sudah belajar jam sebelumnya. Dengan ditemani beberapa cemilan untuk menghilangkan rasa bosannya karena menunggu Papanya untuk ikut menonton.

Tiba-tiba seseorang datang menghampirinya di ruang keluarga dengan langkah seperti orang berlari. Siapa lagi kalau bukan Vanya. Hal itu tidak membuat Verdi berubah posisi bahkan ia enggan untuk menoleh padanya. Pikirnya tentu benar.

"Kak, bantuin ngerjain PR dong, kasihan adikmu lah, bulan depan udah disibukkan dengan berbagai ujian-ujian." ucap Vanya memohon sambil membanting beberapa tumpukan buku.

Verdi yang mendengar suara cempreng ini langsung menutup telinga seakan ia tidak mendengar suara apapun. Sama seperti yang Vanya lakukan tadi sore.

"Ck! Kak!" decak Vanya kesal sambil menggoyang-goyangkan tubuh Verdi. Manja.

"Kakak yang ganteng serumah, bantuin gue dong, ya, ya?" mohon Vanya lagi.

"Hih! Bawel! Mana?" jawab Verdi lalu menurunkan tangan yang semula masih ia gunakan untuk menutup telinga.

Tanpa disadari, Verdi diberi tumpukan buku yang lumayan tebal, membuat Verdi melongo tak percaya. Tugas sebanyak ini? Entah mengapa kehidupan Verdi selalu ditumpuki buku-buku yang tiada berarti baginya.

'Kalau tumpukan masalalu sudah gue buang kali' batin Verdi yang masih melirik Vanya dengan tajam.

"Vanya rebahan dulu bentar, pegel semua." alasan Vanya lalu menidurkan tubuhnya di atas sofa.

Tak menunggu waktu lama, Verdi menyerahkan buku yang sedari tadi ia kerjakan, Vanya pun tersenyum manis dan memeluknya erat.

Dapat dipungkiri dan dipikir, siapa yang mengerjakan PR itu? Tentulah Verdi. Sedari tadi Vanya hanyalah menonton TV dengan tawa yang sesekali keluar, ia sama sekali tidak memperhatikan gerak gerik Verdi yang masih asyik mengerjakan PRnya ini. Gila.

"Cepet banget. Makasih abwang kuh sayang." kata alay Vanya lalu mencium pipi kiri Verdi, dan langsung mendapat lirikan dari Verdi. Serasa ingin muntah.

"Jijik, sana!" ia langsung menyuruh Vanya untuk kembali ke kamarnya. Vanya hanya menurut tanpa menolak.

"Good Game kak. Besok-besok kerjain aja ujian Vanya. Oke?" pinta Vanya dengan lelucon yang kini tengah berada di anak tangga.

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, Verdi masih stand di depan TV dengan mata yang belum ada ngantuknya sama sekali. Ia masih asyik menonton bola di layar kacanya. Dengan ditemani minuman hangat dan beberapa jajanan yang tersedia di lemari es. Papanya juga sudah berada disini sepuluh menit lalu.

"Curang itu." pekik Pak Rahmat.

"Nggak lah, Pa. Itu siasat namanya." elak Verdi tak mau tim pesepak bola kesayangannya direndahkan.

"Astaga pelanggaran."

Pak Rahmat menatap Verdi sekilas, "Kalau nanti tim Papa yang menang, Verdi harus turutin permintaan Papa."

Verdi ikut melirik sekilas, "Kalau tim Verdi yang menang, Papa juga harus turutin ucapan Verdi." senyumnya terbit dan kembali fokus ke layar TV.

"Oke, kita taruhan." jawab Pak Rahmat dengan tegasnya.

Tak lama ponsel Verdi berbunyi. Seketika ia memalingkan pandangan yang semula masih asyik melihat pertandingan di layar itu menuju dimana letak ponsel itu berada. Verdi tersenyum tipis, jantungnya berdetak kencang dengan konsentrasi yang sekarang buyar.

VerDinda [SELESAI]Where stories live. Discover now