32. Gadis Ingusan

757 28 1
                                    

"Kalau dipikir-pikir menunggu itu membosankan, bukan? Tapi ini lain, suatu hal yang malah membuatku terus yakin akan bisa bertahan"

Pagi yang cerah? Sama sekali tidak, malah mengingkari ekspektasi malam tadi. Berharap cuaca bersahabat dengan datangnya sang surya di pagi hari.

Langit kini kelam karena ditutupi awan mendung yang beberapa menit kemudian bisa diprediksi akan turun hujan.

Dan benar, menit berganti menit hujan sudah turun meski tak begitu deras. Hujan mengguyur kota tua. Bisa dirasakan dinginnya pagi ketika suhu tubuh tiba-tiba turun beberapa derajat dari semula.

Dinda berkesempatan untuk memakai jaket tebal pemberian Verdi yang mana keduanya memiliki—couple. Ia melenggang ke dapur dengan langkah santai sambil bergumam, niatnya hanya sekadar mengambil secangkir kopi panas buatannya.

Pak Arif dan Bu Sella sudah berangkat bekerja sejak pukul tujuh pagi tadi. Dan kini rumah itu tinggal menyisakan dirinya dan Andre. Lagi-lagi pria itu—pria menyebalkan tetapi jika pergi sangat dirindukan.

"Din, buat gue satu. Jangan kasih gula." pekik pria itu saat melihat Dinda sedang sibuk sendiri di dapur. Ia berdiri dan bersender di dekat pintu, memperhatikan gerak-gerik adiknya yang sedang bekerja.

"Tumben nggak dikasih gula, biasanya minta dua sendok." timbas Dinda tersenyum remeh lalu mengambil cangkir untuk kakaknya.

Andre pun ikut tersenyum melihat Dinda yang nampak sedikit berbeda dari biasanya. "Kan senyum lo udah manis. Ntar kalau digabung, malah kena diabetes lagi." tawa Andre pecah begitu melihat ekspresi Dinda tersenyum geli dengan wajah memerah.

Andai saja Verdi yang bilang.

"Satu-satu." tawa Andre masih terdengar jelas di telinga.

"Apa sih, Bang, sekarang udah pinter goda adik sendiri ya? Belajar dari siapa? Ahhh—gue tahu, pasti dari google, kan." tebak Dinda sembari menuang air panas ke cangkir lalu mengaduknya, membuat suara nyaring dari cangkir dan sendok terdengar.

"Verdi dong." balasnya bohong lalu berhenti tertawa, melenggang pergi.

"Lo kalik yang ngeracunin pikiran Verdi, sekarang bocah itu juga sering nyeletuk kayak lo gini, Bang, capek lama-lama denger celotehan menjijikkan dari lo."

Dinda pun segera membawa dua cangkir berisi kopi panas menuju ke ruang tamu, menemani Andre yang sedang duduk santai di atas sofa. "Ini tuan." ucapnya lembut saat sudah meletakkannya ke meja—seperti pembantu.

"Terima kasih."

Mereka berdua pun segera menyerutup kopi masing-masing, pandangan mereka sontak beradu Andre yang menampakkan rupa pahit dan Dinda yang menatapnya bingung.

Desisan Andre terdengar, adiknya melirik malas. "Pahit banget, nggak lo kasih gula ya, Din?" tanya Andre sesudah menyerutup dan menyisakan seperempat dari cangkir tersebut kemudian meletakkannya ke meja.

Dinda tersenyum pahit ke arah Andre, mengingat permintaan Andre yang terucap beberapa menit yang lalu. Apa ia sudah lupa? Masih muda pikun? Dasar.

"Lo tadi minta nggak dikasih gula, sekarang protes bilang pahit. Gimana sih mau lo, Bang? Lama-lama gue pengen bawa lo ke dokter THT deh." omelnya.

Andre lagi-lagi terkekeh pelan, "habis dari tadi lo nggak ada pasang muka senyum sih. Kan kopi ini jadi pahit, nggak ada gula dan nggak ada senyum dari lo." gombalnya tak mendapat respon.

"Gaje."

Dinda kembali menatap hujan dari jendela di sampingnya, melihat hujan yang turun semakin deras. Kaca yang mengembun membuatnya sulit untuk melihat pemandangan di luar rumah. Hawa dingin kembali menyelimutinya.

VerDinda [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang