41. Janji Terakhir

734 28 0
                                    

Pak Rahmat, Vanya, dan Dinda pun berdiri, setelah melihat Bu Rere berjalan mendekat ke arah mereka, cara berjalannya terlihat seperti orang penuh ketidakpastian. Ada apa?

"Gimana, Ma? Dokter bilang apa tentang keadaan Verdi?" tanya pak Rahmat penuh kecemasan. Ia pun sudah berada disini sejak Bu Rere pergi meninggalkan Dinda dan Vanya. Hanya selang beberapa menit saja setelah kepergiannya.

"Iya Ma, gimana, kak Verdi nggak parah kan?" tambah Vanya dengan raut yang melemah. Membuat mereka kembali larut dalam kesedihan.

"Tidak. Kak Verdi akan baik-baik aja." kata Bu Rere seolah memperlihatkan ketegarannya. Ia tak kuasa untuk membahas perihal kondisi anaknya kali ini. Dalam hati Bu Rere, ia terus meminta pada Tuhan agar puteranya segera sadar dan dapat melihat dunianya lagi.

"Pa, kita cari makan dulu yuk. Mama tadi belum makan, makanya sekarang agak pusing." lanjutnya menatap Pak Rahmat seakan memberi kode untuk segera melenggang pergi.

"Ah-iya Ma. Ayo. Vanya mau ikut atau dis,-" tanya Pak Rahmat terpotong.

"Vanya disini aja Pa, kasihan kak Dinda sendirian nunggu kak Verdi siuman." sahut Vanya cepat lalu sedikit tersenyum hambar.

"Ya sudah, nanti Mama beliin makanan buat kalian aja ya? Kita pergi dulu. Din, Mama titip Vanya dulu." pesan Bu Rere lalu berbalik badan untuk segera pergi bersama suaminya dari sini.

Dinda mengangguk pelan, "Iya, hati-hati Pa, Ma."

Dinda pun kembali duduk diikuti Vanya. Duduk di depan ruangan yang di dalamnya terbaring tubuh Verdi yang sangat lemas. Dinda menebak, pasti terdapat banyak alat medis yang terpasang di tubuh pria itu. Pasti.

Gadis itu menangkupkan tangan ke wajahnya, kembali menangis dengan pikiran yang tidak-tidak sudah sepenuhnya menyelimuti otaknya.

Tak mendengar suara serta melihat senyuman Verdi, itu sangat mengganggu hidup Dinda. Benar-benar ia terganggu.

"Kak, jangan nangis terus dong. Nanti kak Verdi sedih lho." kata Vanya berniat untuk menghibur gadis di sampingnya. Ia memeluknya dari samping dan dibalas pula oleh Dinda.

"Kakak nggak nangis, Vanya. Kakak terlalu cengeng ya? Dikit-dikit nangis kayak gini." balas Dinda menatap langit-langit rumah sakit, lalu mengelap air matanya. Meskipun isakan itu masih terdengar di telinga Vanya.

Vanya memejamkan mata, ia dapat merasakan bagaimana tak kuatnya jika berada di samping orang yang hampir hilang dari kehidupannya. Rasanya perih, hatinya hancur berkeping-keping, air mata luruh tak bisa dibendung.

Namun, Vanya kembali tersenyum, melepas pelukan, lalu menatap Dinda sebentar dan mengalihkan pandangan nanar ke pintu yang masih tertutup rapat itu.

"Dulu, kak Verdi sering curhat ke Vanya. Dia selalu bilang kalau kak Verdi, saaaayaaaanggg banget sama kak Dinda. Dia nggak mau lihat kak Dinda sedih, apalagi nangis kayak gini. Sampai-sampai dia ngelakuin segala cara buat bisa baikan sama kak Dinda, buat kak Dinda tersenyum, kak Verdi nggak mau lihat kak Dinda menderita karena ulahnya sendiri. Kak Verdi nggak mau. Kak Verdi sangat menjaga kakak layaknya sudah keluarga sendiri. Kakak harus tau itu." terang Vanya dengan mata yang kembali berkaca. Hati Dinda tersentuh mendengarnya.

Walaupun Vanya dan Verdi selalu berantem dengan alasan yang tak sewajarnya, namun dalam hati kecil Vanya, ia sangat sayang dengan kakak satu-satunya. Dan dalam keadaan seperti ini lah, hati Vanya berubah sakit seribu sakit daripada diputus pacarnya.

"Kak, tolong jangan nangis ya. Kasihan kak Verdi. Vanya sayang banget sama dia. Vanya nggak mau lihat kak Verdi ngerasain kesedihan yang kakak alami. Meskipun rasa sakit yang kak Verdi rasain begitu hebat dari kita berdua." bujuk Vanya dengan satu tetesan air mata jatuh kembali. Dinda terdiam, ia berusaha untuk tidak menangis di hadapan gadis kecil ini. Ia kembali menetralkan pikirannya.

VerDinda [SELESAI]Where stories live. Discover now