30. Harapan

822 30 1
                                    

"Semua tergantung diri lo, apa yang terbaik maka lakukanlah. Jangan mikirin hal yang buat lo mundur satu langkah"

Silih berganti begitu cepat, burung-burung sudah kembali ke alamnya lagi. Dan kini, bergantilah suara jangkrik yang kian berbunyi di balik semak belukar tinggi.

Bulan yang hampir mendekati satu lingkaran penuh serta banyaknya bintang sudah bertebaran di langit malam. Malam yang indah.

Dinda berada di balkon kamar, menatap kagum langit yang ada di atasnya. Beberapa kali ia tersenyum, menampakkan sedikit lesung pipi dan beberapa kali ia memeluk dirinya sendiri.

Terselip sebuah harapan yang begitu besar, seperti halnya ia ingin menapaki bulan di angkasa sana. Suasana hati berubah tak menentu setelah ia menatap benda kecil di tangannya itu.

"Gue ambil beasiswa ini atau nurutin yang udah ada di sekolah?" tanyanya pada diri sendiri. Ia mendengus kesal.

Tentu saja ia begitu bingung, di lain sisi ia ingin sekali mengambil beasiswa yang sangat membanggakan tentunya, tetapi itu sangat jauh disana. Apakah ia akan betah belajar dan menetap beberapa tahun di negeri orang?

Sedangkan untuk yang di dalam negeri, ia juga sangat bangga karena akan langsung diterima tanpa tes. Apalagi salah satu Universitas membanggakan di Jakarta.

Namun, lagi-lagi Dinda menggeleng pelan. Tak kuasa untuk menolak salah satu universitas itu, andai saja ia dapat membelah dirinya seperti amoeba, pasti ia akan mengikuti keduanya tanpa menolak salah satu diantaranya.

Pasti ia akan menjadi gadis yang sangat beruntung dan tentunya, capek. Tetapi apa ia bisa?

"Pilihan terberat di hidup gue, sama halnya gue di kasih pilihan, harus milih hidup tanpa dia atau milih mati hari ini juga." celetuk Dinda.

Ia terus berdoa dalam diam, memejamkan mata dan berdoa pada yang Kuasa. Kemudian ia berjalan menuju ruang makan yang disana sudah ada keluarga kecilnya. Cukup harmonis kelihatannya.

"Nah katanya lo mau bilang sesuatu ke gue. Mana coba? Gue tunggu." cibir Andre saat melihat Dinda sudah mendudukkan bokongnya pada kursi kayu tepat di sebelahnya. Wajahnya nampak meremehkan dengan disertai cungiran kecil yang terlihat jelas di matanya.

"Lo mau tau sekarang, Bang?" tanya Dinda mengubah ekspresinya menjadi begitu ceria saat ini. Andre pun mengangguk dan tersenyum licik ke arahnya.

"Pasti bohong!" guman Andre menebak, lalu mengambil nasi dan lauk yang sudah membuat perutnya berbunyi. Memalukan!

"Makan itu tahu, ntar juga tau, Bang." respons Dinda lalu terkekeh puas. Nampak sebuah candaan belaka baginya, tetapi berhasil membuat Andre kesal.

"Apa sih, nggak jelas banget." dengus Andre.

Berbeda dengan kedua orang tuanya, mereka hanya menyaksikan candaan yang dibuat anaknya dengan seulas senyuman.

"Udah-udah makan dulu, baru nanti dilanjut ceritanya." potong Bu Sella sambil memberikan sepiring nasi ke arah Pak Arif.

Akhirnya mereka menikmati santapan malam yang sungguh membuat perut mereka kenyang dengan makanan nikmat dari wanita tangguh keluarga ini. Ibu.

Tak butuh waktu lama, makanan itu pun sudah ludes, hanya menyisakan tulang ayam dan beberapa butir nasi yang menempel pada tempat nasi. Air dalam teko bening juga sudah tinggal setengah.

"Cepat kasih tau gue, berita apa yang lo bangga-banggakan itu!" Andre lagi-lagi tak sabar dengan berita yang Dinda bawa.

Menurutnya, menunggu cukup lama itu tak mengenakkan. Bosan. Apalagi menunggu sebuah jawaban dari sang pacar. Sungguh melelahkan dan membuang waktu.

VerDinda [SELESAI]Where stories live. Discover now