55. Pamit

521 34 2
                                    

Sabtu, tepat hari ini Dinda akan pergi bersama Danis dengan motif ingin menemui Ayahnya di Bogor.

Perasaan bercampur aduk, antara ragu, kesal, marah, semua perasaan yang dilanda Dinda adalah sebuah perasaan negatif, rasa itu tak akan pernah berhenti sebelum semuanya ini usai.

"Ver, aku minta maaf karena beberapa hari nggak jenguk kamu." Dinda kini berada di rumah sakit setelah sekian lama tak menemuinya, tak menanyakan kabar meskipun lewat ponsel Mama Rere. Kepergiannya terkesan tiba-tiba dari hadapan Verdi.

"Lo kemana aja?" Verdi yang terlihat sudah segar namun masih ada balutan perban di kepalanya kini ambil bicara.

Nggak mungkin gue bilang apa yang terjadi sama gue, Verdi juga nggak mungkin ingat.

"Ak-aku ngurus pendaftaran kuliah, Ver." kikuknya sambil menyodorkan irisan buah apel yang barusaja ia kupas.

Verdi pun percaya begitu saja. Ia mengangguk pelan. "Lo mau kuliah dimana emang?"

"Luar negeri."

Verdi diam sejenak, merasakan sensasi merinding karena gadis itu mampu kuliah sejauh ini. Andai saja ia juga bisa ke sana seperti impian yang ia tulis di kamarnya.

"Keren rupanya, salut gue bisa kenal sama lo. Pasti lo pinter ya?" kata Verdi meringis.

"Kamu juga pinter, Ver. Kamu juga kuliah di sana." jujur Dinda ingin segera mengingatkan Verdi. Namun cowok itu tetap saja tak tahu, hanya dibalas ucapan doa. Andai kamu nggak terkena musibah ini, Ver. Lanjut Dinda dalam hati.

"Aamiin. Gue juga pengen segera kuliah." harap Verdi dengan senyuman.

Untuk kali ini setelah Verdi sakit, Dinda baru melihat seulas senyum yang langka akhir-akhir ini. Sekarang, tepat di hadapannya cowok itu tersenyum.

"Cepet sembuh, Ver." hanya itu permintaan Dinda. Berharap semuanya akan baik-baik saja sebelum ajaran baru dimulai, dan ia bisa pergi ke Australia dengan Verdi.

"Oh iya, beberapa hari ke depan aku juga nggak bisa jagain kamu, Anggun pun begitu."

Verdi melirik Dinda sebentar, nampak kecewa namun ia sembunyikan. "Iya nggak pa-pa, kalian pasti sibuk ngurusin buat jadi mahasiswa baru, kan?" Dinda mengangguk bohong. "Anggun sekarang dimana?"

Mata Dinda jelalatan berusaha mencari jawaban beberapa detik. "Mungkin dia masih sibuk ngurus kuliah, dia kan pindah kampus." katanya sudah kehabisan alasan. "Kamu mau makan? Bi-biar aku suapin." lanjutnya cepat dengan disertai tangan yang gemetar.

Satu suapan berhasil mendarat setelah beberapa minggu tak bisa. "Dulu kamu suka banget aku suapin, Ver, apalagi pas kita makan seblak." Dinda tersenyum mengingat hal paling mencolok di antara kejadian lain bersama Verdi.

Sebelum insiden ini, hampir setiap minggu Verdi mengajaknya makan seblak pinggir jalan langganan mereka. Ia jadi ingin ke sana.

"Besok kalau kamu udah sehat, aku traktir seblak level tertinggi deh. Aku udah doyan pedas soalnya." cengir Dinda tertawa pelan dan Verdi yang masih terus berpikir.

"Makan seblak? Sama lo?"

Tiba-tiba pintu terbuka, menampilkan sosok pria tinggi yang membuat Dinda mati kutu. Jantungnya semakin berdetak kencang matanya bergantian menatapnya dan Verdi.

Sedang Verdi mengulas senyum paksa pada pria itu. Ngapain dia kesini?

"Din." panggilnya seraya berjalan mendekati dua orang tersebut, "udah selesai, kan?" Dinda masih tak menjawab, mulutnya bungkam menghadapi pertemuan kali ini. Ngapain ia harus menyusul dirinya di kamar rawat Verdi?! Kenapa ia bisa tahu?

VerDinda [SELESAI]Where stories live. Discover now