54. Surat Untuk Verdi

488 30 3
                                    

Dinda: Van, besok tetep di rumah, ada yang mau kakak tanyain.

Pesan itu terkirim setelah Dinda berkutat dengan pemikirannya. Ia masih mempunyai waktu tiga hari sebelum ia pergi bersama Danis. Ia masih bisa menyempatkan mencari informasi di waktu kosongnya sebelum berangkat ke Australia.

Gue akan temui dia besok.

**

Dinda sudah mendapatkan izin untuk masuk ke rumah itu, ia pun mengarah berjalan ke kamar Vanya yang bersebelahan dengan kamar Verdi.

"Vanya." panggil Dinda mengetuk pintu. "Eh, iya kak, bentar Vanya ambil dulu." balas gadis yang masih di dalam kamar. Dinda pun akhirnya turun terlebih dahulu dengan Vanya yang masih harus ke kamar Verdi mencari sebuah kunci yang harus ia bawa.

Dinda dan Vanya berjalan ke rumah bercat putih samping rumah keluarga Rahmat. Jantung Dinda terus berdetak kencang saat menginjakkan kaki di lantai teras.

"Rumah ini kenapa nggak disewain, Van?" tanya Dinda bersuara.

Matanya menatap kanan kiri rumah ini, pagar yang menjulang hampir menutupi fasilitas yang ada di dalam pekarangan. Ada taman kecil dengan pelengkap air mancur, bebatuan yang tertata rapi, bunga-bunga bermekaran yang menggantung di tembok serta ayunan bercat kuning yang ada di dekat taman.

Vanya yang sudah berhasil membuka pintu putih itu kini menepakkan kaki untuk masuk. "Kata Kak Verdi, rumah ini udah dibeli sama Papa dan uangnya buat pengobatan Kak Clara sebelum meninggal."

"Pengobatan? Apa sebelum kecelakaan itu dia ada sakit, Van?" tanya Dinda ikut masuk. Ruangan yang begitu megah memanjakan mata Dinda.

Apa ini alasannya mereka pindah diam-diam? Punya harta segedong gini dan Ayah nggak tau sama sekali. Licik. Batin Dinda terus berjalan, melihat pigura besar terpampang berisi foto keluarga kecil. Orangtua dan satu orang anak memakai pakaian serba putih.

Vanya terus mengikuti jalannya Dinda yang sudah mendahului, ikut-ikutan menatap foto itu dengan senyum lebarnya. "Kak Clara sebelumnya mengidap leukimia. Setelah keluarganya meninggal, Papa sama Mama yang nanggung pengobatannya lewat uang hasil penjualan rumah ini." terang Vanya melirik Dinda.

Dinda melongo tak percaya, untuk beberapa detik mimik wajahnya kentara sangat kaget. Astaga, jadi alasan keluarga Clara yang sebenarnya...

"Maaf kak, Vanya mau tanya sebentar. Emang kakak kenal sama Kak Clara? Atau... Kakak cuma cemburu dengar masa lalunya Kak Verdi dari Mama kemarin?" tanya Vanya sebelum menjelaskan tentang aib keluarga Clara.

Bagi Vanya, Clara sudah menjadi bagian dari keluarganya, ia tidak mungkin menjawab semua pertanyaan yang mendasar dari orang yang bukan memiliki hubungan apalagi ketidak kenalan.

"Bu-bukan, Van. K-ka-kakak saudaraan sama Kak Clara." Dinda merasa berat untuk mengakui keluarga itu. Namun, ucapan Vanya tentang mereka membuatnya harus jujur.

"Hah maksudnya?!"

Dinda menarik nafas panjang, kemudian duduk di sofa masih menatap pigura. "Clara itu anak dari om kakak. Om Gian dan Tante Ningrum."

"Ya ampun, Kak." kaget Vanya mengatupkan bibir. Dinda hanya tersenyum memberi tahu agar Vanya tak terus-terusan memikirkan apa yang barusan ia ucapkan.

"Kalau rumah ini udah jadi milik keluargamu, kenapa rumah ini belum dipakai sama Papa kamu, Van?" tanya Dinda sambil berkeliling. Rumah ini masih setia dengan warna putih tanpa celah warna lain di dinding dan perlengkapan. Ia baru ingat, Om Gian dan Tante Ningrum penyuka warna putih. Pantesan.

VerDinda [SELESAI]Where stories live. Discover now