37. Malu Tapi Mau?

838 28 0
                                    

"Kalau kita sudah beneran jodoh, pasti akan ada rasa telepati antara kita berdua"

"Pagi om." sapa Verdi saat sudah dipersilahkan duduk oleh Bu Sella, ia menyapa Pak Arif yang berjalan mendekatinya. Pria paruh baya itu tersenyum menyapanya balik.

"Pagi."

Sinar mentari berwarna orange sudah masuk melalui celah gorden yang menutupi sedikit jendela rumah Pak Arif, beberapa bagian rumah itu sedikit terkena cerahnya cahaya Ilahi yang sangat indah. Nampaknya cuaca sangat bersahabat pagi ini.

"Dinda baru sarapan itu." kata Pak Arif sambil memerlihatkan gigi yang sudah hilang satu bagian depannya. Senyum itu masih terlihat seperti kawanan anak muda.

"Kamu udah sarapan belum? Kalau belum gabung aja sama Dinda disana, Ver." lanjutnya seraya menunjuk arah dapur. Sedikit terlihat baju yang dikenakan puterinya disana. Verdi menggeleng cepat. Tak lama serentetan gigi itu terlihat.

"Iya, gabung aja sama Dinda. Kalau dia makan sendiri, pasti makannya lelet kayak kura-kura. Kebiasaan puteri tante, memang." sahut Bu Sella yang datang membawa dua cangkir berisikan teh hangat untuk mereka berdua.

"Eh——nggak usah repot-repot tante, malah dibuatin minum segala. Verdi tadi juga udah sarapan di rumah kok." kata Verdi tersenyum malu.

"Nggak ngrepotin kok, Ver, ayo diminum. Masih hangat ini." Bu Sella memersilahkan semua untuk meminumnya, Pak Arif lalu diikuti Verdi.

"Bagaimana kabar orangtua kamu, Ver, baik?" tanya Pak Arif seraya melirik ke arah Verdi. Mengisi kekosongan waktu dengan sedikit pertanyaan belaka.

"Alhamdulillah baik, Om."

"Kapan-kapan kita kumpul sama keluarga kamu ya? Kenalan dan tukar cerita sama mereka gitu. Udah lama nggak menyapa mereka." sahut Bu Rere bersemangat, Verdi sontak kaget mendengar perkataan itu.

Siapa bilang Verdi kaget karena tidak senang melihat ucapan itu? Ia sangat senang. Jelas-jelas permintaan ini keluar dari mulut seorang ibu dari anak yang ia sukai. Menyenangkan.

"Siap, Tan, bakal Verdi agendakan." balas Verdi tak kalah semangat.

"Ngomong-ngomong Bang Andre dimana? Dari tadi Verdi nggak lihat dia, Tan, Om." tanya Verdi melihat sekitar. Tak melihatnya sama sekali, biasanya jika ia datang pasti akan disambut dengan tepukan dada sebelah kirinya. Layaknya seperti sahabat sendiri.

"Oh Andre, dia ada kerjaan di Bandung. Baru beberapa hari dia berangkat kesana." jawab Rere.

"Oh ya? Kerja apa, Tan?" tanya Verdi antusias. Ia baru saja pergi tanpa sepengetahuan Verdi.

"Jadi manager di perusahaan temannya." balas Bu Sella tak kalah senang. "Tante sangat senang waktu tau kalau Andre udah keterima kerja."

"Alhamdulillah kalau gitu, Tan, keren." puji Verdi lalu mereka tersenyum.

Dinda yang berjalan dari dapur menuju ruang tamu sudah terlihat anggun dengan kebaya modern berwarna biru, cantik dan memesona. Batin Verdi tersenyum manis. Hatinya dag-dig-dug karena tampilannya sangat berbeda dari biasanya. Baru pertama melihat gadis itu memakai kebaya.

"Cie kagum cie." goda Dinda yang sudah sampai dihadapan mereka. Menatap Verdi dengan penuh keculasan.

Pak Arif dan Bu Sella hanya geleng-geleng melihat tingkah anaknya yang sudah dewasa. Verdi pun hanya tersenyum memberi isyarat agar Dinda diam tidak membuatnya malu dihadapan mereka berdua.

"Ayo, Ver." ajaknya memalingkan perhatian dari ucapannya tadi, ia masih merapikan rambut yang ia gerai.

"Belum juga Verdi minum ini teh, udah kamu ajak aja, Din. Bentar dulu." sanggah Bu Sella lalu mendudukkan Dinda di sampingnya.

VerDinda [SELESAI]Where stories live. Discover now