27. Perhatian Terakhir

902 31 6
                                    

"Jangan ada air mata yang jatuh sia-sia, karena itu sangat berharga"

"Maaf, nggak jemput lo tadi."

Dinda masih menampakkan senyum lebarnya. Tak ada sedikitpun wajah kecewa yang ia perlihatkan, walaupun sebenarnya rasa itu sudah menyelinap di hatinya saat ini.

Bukan apa, hanya saja Dinda juga hampir terlambat karena menunggu Verdi cukup lama, serta ban motor yang kempes semakin membuatnya sial hari ini.

"Nggak pa-pa kok," katanya dengan senyum yang masih bisa terlihat, "lo, kenapa bisa telat? Tidur jam berapa emang?" lanjutnya sambil menatap spion, ia mendapati wajah Verdi yang juga menatapnya.

"Kepagian." ucapan itu berhasil membuat satu pukulan ringan melayang di punggungnya. Verdi sedikit kaget akan pukulan itu. Tapi Dinda, ia malah meringis menatapnya dari kaca spion.

"Gue udah bilang kan, Verdi. Jangan tidur larut malam. Tuh jadinya telat kan, untung kita tinggal nunggu kelulusan, kalau enggak? Dihukum lo." sambungnya dengan wajah jengkel tapi sangat menggemaskan.

"Gue udah dihukum tadi."

"Dihukum apa? Suruh bersihin toilet atau nyapu halaman sekolah?"

"Suruh ngasih motivasi sama peserta apel." jawab Verdi tersenyum.

"Hukuman apaan itu, enak banget nggak kayal di sekolah gue. Sedikit-sedikit suruh bersihin toilet."

"Gue kan murid teladan." sombong Verdi mengakhiri perbincangan di atas motor.

Obrolan berakhir setelah motor yang mereka tumpangi berhenti di tempat favorite mereka. Benar, penjual seblak. Tempat itu cukup ramai.

Tangan Verdi menarik tangan Dinda lembut, membuat gadis itu hanya pasrah mengikutinya dari belakang. Ia hanya menatap punggung Verdi yang lebih lebar darinya dengan tatapan kagum.

Semakin hari, mereka semakin bisa menerima keadaan. Yang bahkan membuat mereka lebih akrab dan saling memahami satu sama lain.

Duduk di dekat kipas angin yang menyala, membuat rambut gadis itu sontak bertebaran kemana-mana. Gadis itu risih, tapi Verdi juga tak mau diajak pindah ke tempat duduk lainnya. Modus Verdi akan suasana ini, ia menyelipkan rambut Dinda ke belakang telinga membuat jaraknya cukup dekat dengan gadis yang mempunyai rambut agak panjang itu.

"Lain kali dikuncir." bisik Verdi sambil tersenyum menatapnya.

Dinda tersipu malu, pipinya merah padam saat Verdi berhasil membisik di samping telinga. Sungguh, sikapnya membuat ia melayang seketika. Tapi, setelah Verdi kembali ke posisi semula Dinda langsung berubah ekspresi. Seakan ia bisa menetralisir detak jantungnya yang kian berdetak kencang.

"Nggak ah. Jambul lo aja sana, dipotong, udah kayak jambulnya Syahrini." ketus Dinda langsung membuat Verdi nyungir kuda.

"Gue kasihan sama rambut gue yang udah gue rawat beberapa bulan."

Makanan itu sudah sampai di hadapan mereka setelah beberapa menit menunggu.

Warna kuah yang sangat merah dari hari biasa membuat Dinda sedikit mengernyit, heran. Ia menatap Verdi sekilas lalu mengalihkan pandangan lagi ke arah mangkuk itu.

"Cuma level sepuluh. Naik tiga tingkat." ujar Verdi santai sambil mengaduk-aduk makanan itu. Hati Verdi sangat senang, ia berhasil mengerjai pacarnya kali ini. Sementara Dinda, ia hanya menelan ludahnya, susah.

"Dasar, nggak peka." gerutu Dinda lalu mengaduk makanan itu dengan sangat malas, Verdi terkekeh pelan.

Mereka menikmati makanan itu dengan keringat yang terus menetes di wajah mereka. Sampai-sampai beberapa tisu berhasil Dinda gunakan untuk mengelap keringatnya. Dinda tidak terlalu suka makanan pedas.

VerDinda [SELESAI]Where stories live. Discover now