59. Halusinasi

550 34 2
                                    

Dinda termenung di kamarnya, menyendiri untuk menikmati tangis sejadi-jadinya. Hidupnya hancur karena cinta, cinta yang tak dapat terbalaskan dan cinta yang berujung kepergian.

Mungkin benar kata pepatah, di awal ada pertemuan dan di akhir ada perpisahan. Kini Dinda sudah masuk dalam fase perpisahan dengan Verdi. Ia meski menjauh dari Verdi.

"Mungkin ini akhir cerita gue, gue udah harus lupain Verdi."

"Dia udah nggak terima gue lagi. Dia udah lupa sama gue dan nggak mungkin gue nunggu semua ini sendirian." putusnya lalu menulis sebuah pesan singkat tentang semua isi hatinya dan ia masukkan ke dalam amplop biru.

Diciumnya surat itu penuh rasa cinta tanpa meninggalkan jejak merah bekas bibirnya. Dinda menangis tersedu dengan surat yang ia letakkan di dada.

**

"Ayah, Bunda, Bang Andre, doain Dinda biar sukses ya. Lusa Dinda udah harus terbang ke Australia." kata Dinda setelah makan malam selesai.

"Pasti itu Din, Bunda bakal doain kamu biar jadi orang besar. Kamu jaga diri baik-baik ya di sana." pesan Bu Sella tersenyum.

"Andai Bunda bisa ikut ke sana. Bunda bakal jagain kamu, Din." kekeh Bu Sella membuat Dinda terpaksa menarik senyumnya.

"Kalau Bunda pergi ke sana, Ayah sama siapa?" sahut Pak Arif membuat Bu Sella tertawa. "Kan ada Andre." jawab Bu Sella.

"Kalau Verdi udah sadar dari amnesia, tolong kasih surat ini untuk Verdi ya, Bun. Ini dari Dinda." Dinda menyodorkan amplop berukuran sedang pada Bundanya. Rapat sekali.

Ia harap Verdi akan membacanya dan mengingat terus kebersamaan dirinya dan juga Dinda. Semoga dan semoga. Entah kapan waktunya, ia tidak tahu.

"Sama ini, ini kado di dalamnya ada surat dari Clara yang Dinda temuin di kamarnya dulu." lanjutnya memberikan kotak kado ke arah Bundanya. Dinda berusaha tersenyum meski tak terlalu kentara.

Bu Sella mengangguk saja, toh ini yang bisa ia lakukan sekarang.

"Dia beneran udah cabut beasiswa itu?" Bu Sella menatap Dinda penuh pertanyaan. Kasihan melihat puteri satu-satunya gagal dalam urusan harapan.

"Iya, Bun. Tante Rere yang bilang ke Dinda. Harapan Dinda buat bisa ke sana belajar bareng sama Verdi hilang, Bun. Tuhan nggak mau Dinda ke sana sama Verdi." katanya samar.

Selaput bening kembali menyelimuti mata Dinda, menggenang dan tak ingin keluar.

"Nggak pa-pa, kalau Verdi beneran serius sama kamu dia bakal tungguin kamu sampai kamu pulang dari sana." tutur Pak Arif membuat Dinda mengangguk.

"Tapi kalau enggak?"

"Masih ada pria lain yang lebih baik dari Verdi, yang penting kamu sukses dulu, jodoh pasti mengikuti, datang sesuai jadwal." Pak Arif terus membuat Dinda tersenyum berterima kasih.

Dinda berharap Verdi akan menjaga hati untuknya. Semoga setelah sembuh dan ingat, ia mencari keberadaan dirinya. Menyusul dan bersekolah di sana bersamanya.

Namun kembali lagi, itu hanyalah angan dan harap yang dapat Dinda lakukan sekarang.

"Kalau Dinda mau, Bunda akan jodohkan kamu sama anak sahabat Bunda." mata Bu Sella berbinar, mengedipkan satu mata ke arah Dinda dengan penuh kemauan.

"Anaknya itu tampan, sholeh, dan berbakti sama orangtua." puji Bu Sella tanpa ada salah.

"Siapa, Bun? Andre kenal?" Andre menyahut dengan bingung.

"Tau, dia anaknya Pak Heru, tetangga kita." bagai mendapat lelucon, Andre tertawa keras geleng-geleng dengan pilihan Bundanya.

"Dia udah umur 25, Bun. Bunda mau punya mantu seumuran sama Andre?" kekeh Andre paling keras. "Kalau mau sih nggak pa-pa. Andre setuju kok."

VerDinda [SELESAI]Where stories live. Discover now