43. Luka, Pahit & Benci

761 30 4
                                    

"Kak, dia tadi siapa?"

Sedari tadi Vanya terus megeluarkan pertanyaan yang sama, membuat mulutnya hampir kekurangan oksigen. Payah! Dinda pun diam, sama sekali tak merespon, membiarkan Vanya terus-terusan menceloteh sesuka hatinya. Hingga sampai di rumah pun ia tetap menanyakan hal macam itu.

Apa Vanya terpesona melihat seorang mantan dari calon kakak iparnya? Jangan!

"Kak, cowok yang bantu kita tadi siapa? Aku beneran tanya nih!" cetusnya kian sebal sendiri.

Ia mendesis, menatap Dinda kesal akan ulahnya, "kakak belum jawab pertanyaan Vanya dari mobil sampai sekarang di depan rumah. Masih mau tahan sampai besok atau lusa?" lanjutnya berjalan lebih cepat dari Dinda sambil menghentakkan kaki menuju rumah di hadapannya.

"Nggak asik deh."

Menit kemudian, ia kembali berbalik menatap Dinda semakin geram disertai geregetan, "kak, Vanya beneran kepo tingkat ratu, raja dan dewa ini. Nggak mau ngasih tau juga? Apa Vanya harus mohon-mohon sama kakak, terus nangis-nangis kayak di sinetron, iya?"

Dalam hati Dinda terkekeh geli, namun ekspresinya ia biarkan datar, mengelabuhi Vanya. "Nanti kakak cerita di dalam." balas Dinda langsung membuat Vanya berhenti menceloteh.

"Bener ya? Ceritain semuanya, janji ya?" tanyanya semangat dan tak digubris.

"Assalamu'alaikum." salam Dinda lalu menggandeng Vanya ke dalam, "ayo".

Sepi, tak ada orang. Vanya terus memutar bola matanya, baru pertama ia menginjakkan kaki di rumah Dinda. Rasanya, tenang dengan beberapa furniture kayu di sini.

"Orang tua kakak, dimana?" ujarnya masih melihat kanan kiri.

"Jam segini, mereka sudah tidur." jawab Dinda yang berada di depan, memimpin Vanya mencari jalan menuju kamarnya.

Jam sudah menunjukkan hampir pukul sembilan malam. Wajar jika orang paruh baya seperti mereka tidur lebih awal, bukan?

"Kakaknya kak Dinda?"

"Bang Andre di Bandung, dia kerja."

Vanya hanya mengangguk dan memajukan bibirnya membentuk bulatan. Hingga Dinda membuka kamarnya.

"Ahh! Akhirnya, Vanya bisa tiduran. Capek dari tadi belum ngelurusin tulang-tulang tua ini." kata Vanya lancang langsung melemparkan tubuhnya ke ranjang kamar. Membuat Dinda hanya geleng-geleng pasrah.

Mereka bergiliran untuk membersihkan badan yang sedari tadi penuh noda akan tangisan.

"Kok belum tidur?" kaget Dinda saat keluar dari kamar mandi, mendapati Vanya bermain ponsel sambil berbaring.

"Nungguin kakak."

Dinda mengernyit, "Kenapa?", lalu kembali mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil.

"Kan kakak sudah janji mau beritahu tentang cowok tadi. Namanya, alamatnya, umurnya dan nya-nya yang lain." cungirnya lalu mendudukkan bokongnya, duduk menghadap Dinda. Menyengir tak berdosa.

"Kenapa, kamu suka sama dia?" tanya Dinda spontan, membuat Vanya menimpukkan bantal yang tadi berada di pangkuannya ke tubuh Dinda.

"Enak aja, nggak lah kak." teriak Vanya malu. Pipinya memerah.

"Terus kenapa ngebet mau tau tentang dia, kalau nggak ada rasa suka? Ah, shit kamu, Van." canda Dinda semakin membuat Vanya tak kuat menahan rasa malunya. Ia tersenyum tak terima sekarang.

Vanya semakin tak kuasa menahan perasaannya kali ini, setelah Dinsa berusaha memojokkan gadis itu, "oke Vanya akui, kakak yang tadi lebih ganteng dua kali lipat dari pada mantan aku kemarin, tapi Vanya nggak mungkin lah suka sama om-om kayak gitu." balas Vanya mengakui pria itu lebih segalanya dari pria yang barusaja diputusnya.

VerDinda [SELESAI]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt