50. Temu Dan Kebohongan

706 35 14
                                    

"Gue inget banget waktu TK lo beli jajanan di tempat Mbok Mar dapet hadiah uang dua ribu." Anggun tertawa saat menceritakan kisahnya dulu bersama Verdi. Benar-benar membuatnya terpingkal-pingkal.

"Verdi yang dulunya culun banget saking seneng dapet itu hadiah—" Anggun memotong ucapannya dengan selingan tawa yang tak duga-duga.

"L-lo sampai nggak perhatiin kalau di atas kepala lo ada jendela besar yang kebuka. Lah kejedok deh itu kepala." ia semakin mengeraskan tawanya, membuat Verdi mendelik malu.

Apa yang Anggun lakukan sekarang ini semata-mata untuk mengembalikan ingatan Verdi. Sedikit kembali menceritakan zamannya bermain petak umpet, masak-masakkan, dan aneka permainan kecil lainnya. Anggun tertawa sadar, rupanya gue sekarang udah besar, Verdi pun juga. Kita nggak mungkin mainan zaman kita masih anak kecil

Verdi ingat betul tentang kejadian bertahun-tahun yang lalu. Ia ingat dan ia juga ikut tertawa pelan. Segar.

Sedang Dinda yang melihat keceriaan mereka dari kejauhan, belum berani mendekat. Ia tidak ingin merusak moment itu, moment yang bisa saja membuat Verdi sedikit ingat akan kejadian yang pernah ia alami. Meskipun, dimulai dari awal. Dinda tersenyum legah.

"Sumpah itu buat gue ngakak, Ver. Dulu gue nggak berani nolong lo karena pas lo pegang kepala, darah segar bener-bener ada di tangan lo. Tau kan gue itu nggak suka darah, Ver. Gue takut."

Verdi menatap Anggun jengkel. "Itu pertanda kalau lo bukan sahabat gue."

"Eh, tapi gue langsung ngasih tau sama guru, dan lo dapat pertolongan cepat kan." Anggun beralasan untuk membela diri.

"Iya-iya, makasih. Sakit banget tau nggak?!" lirih Verdi membuat Anggun kembali terkekeh.

"Iya gue tau, gue lihat jahitan kepala lo kok dulu." kata Anggun datar, "mana sekarang? Gue mau lihat kepala lo, masih ada bekas nggak." izin Anggun langsung melihat kepala Verdi. Ia membiak rambutnya sedikit demi sedikit.

"Syukurlah, udah hilang rupanya." kekeh Anggun sekali lagi.

"Itu lah laki-laki sejati." sombong Verdi. "Gue juga inget, pas lo main sikep mata di lantai bertingkat terus lo jatuh ke aspal dan—"

"Ssttt... Jangan bahas itu, gue malu." Anggun meletakkan jari telunjuknya ke bibirnya sendiri. Berharap agar Verdi tak melanjutkan perkataan yang membuatnya malu di depan umum.

"Kenapa? Nih ya, pas gue lihat bibir lo bengkak kayak gitu, malah buat lo lebih cantik kayak itik lagi goyang." canda Verdi lalu tergeraklah itu bahu. Dasar, menyebalkan!

"Itu juga namanya lo bukan sahabat gue."

"Gue khilaf waktu itu nertawain lo. Gue kira lo pura-pura nangis, tapi ternyata... Sakit beneran ya?" Verdi berusaha menyimpan rapi tawanya, tak mau larut lagi dalam candaan yang membuat hati Anggun terluka. Ia menjaga semua perempuan.

"Iya sakit lah, peak! Muka unyu gue dulu jadi berubah. Lutut gue berdarah dan nggak bisa jalan dua hari, coba, anak kecil mana yang jatuh kena musibah nggak nangis?" tanya Anggun berniat membuat Verdi berpikir. Namun Verdi tak menggubris.

"Cengeng banget."

"Hai, Ver."

Verdi dan Anggun menatap orang yang memberinya sapaan. Mereka berdua melihat gadis menjulang tinggi di depannya. Mengulas senyum. Dia Dinda.

"Siapa?" tanya Anggun menatap Verdi bingung, Verdi acuh mengerdikkan bahu. Anggun beralih melihat Dinda yang masih setia dengan senyum rekahnya.

"Lo Anggun, 'kan?" tebak Dinda membuat Anggun kembali menatap Verdi, "bisa bicara sebentar?"

VerDinda [SELESAI]Where stories live. Discover now