20. Hantu Bioskop

994 42 6
                                    

"Tadi lo berpikirnya negatif. Sekarang aja semangatnya nggak abis-abis"
-Verdian Rahmat

Tak lama mobil mereka pun berhenti di sebuah kafe bernuasa serba romantis. Yang mana Verdi memang sudah memesan tempat yang sebegitu indah khusus untuknya.

"Gue itu sudah sarapan, Ver, nggak usah ke sini ah." tolak Dinda saat mobil itu sudah terparkir rapi.

"Gue belum sarapan, kalau perut gue bunyi di tengah jalan, lo nggak malu? Udah lo disini tinggal nurut, diam, dan gue yang bayar!" Verdi menarik tangan Dinda untuk segera masuk bersamanya.

"Iya gue tau." ambeknya melirik malas.

"Masih nggak mau masuk? Gue tinggal nih, atau lo mau pulang?" tanya Verdi yang melihat perubahan mimik dari gadis sebelahnya.

"Nggak." Dinda pun segera masuk dalam kafe itu bersama Verdi.

Dinda begitu tercengang ketika melihat meja yang mereka tuju berbeda dari biasanya. Dimana terdapat bunga warna-warni di pinggir meja, serta hiasan pelengkap lainnya yang membuat Dinda sangat kagum akan hal ini.

'Ini kita sarapan tapi kok nuasanya kayak dinner, tapi bagus sih. Apa ini Verdi yang siapin?' batin Dinda sambil menatap kosong ke arah Verdi.

"Udah nggak usah sok, gue laper!" pecahnya terhadap lamunan Dinda.

"Tumben ini kafe bagus banget, meja kita juga. Apa... Apa kita salah meja, Ver?" tanya Dinda sangat polos, "ini udah dipesan orang lain mungkin. Pindah aja, Ver takut dimarahin."

'Lo kok nggak bisa romantis sih, ya emang ini surprize buat lo!' batin Verdi mendengus kesal.

"Gue udah tanya sama pemilik kafe ini sendiri, dan dia bilang kalau tadi emang habis dipakai sama orang." ucap Verdi kesal.

"Gitu?"

"Iya."

"Ya udah deh, lumayan terkesan romantis."

Verdi segera memanggil pelayan dan segera memilih menu makanannya. Suasana ini sangat indah untuk mereka berdua. Namun Dinda tidak membuat suasana disini nampak romantis.

"Din,"

"Apa?" balas Dinda yang masih asyik melihat dekorasi kafe blacksweat yang sangat berbeda.

"Din,"

"Ya ampun kenapa sih Ver, lo kok–" seketika ucapan itu terpotong karena ia mendapati muka Verdi yang sungguh berada beberapa inci di hadapannya, lebih dekat dan dekat lagi. Jantung itu kembali berdetak kencang, nafasnya seakan berhenti seketika.

"Ke-kenapa Ver?" Dinda kikuk setelah Verdi kembali ke posisi awal.

Verdi tersenyum kecil, "nggak apa-apa."

"Jangan buat gue deg-degan woi." kata Dinda to the point.

"Kalau lo nggak deg-degan, mungkin jantung lo udah nggak berfungsi." jawab Verdi memakai otak.

"Kalau deg-degan seseorang makin cepat itu karena ada rangsangan, dan muka lo yang ada dekat banget sama gue tadi yang buat gue kayak gitu." kata Dinda.

"Jadi selama ini lo suka deg-degan kalau deket sama gue?" tanya Verdi skakmat.

"Ya—ya enggak lah." jawabnya terbata-bata.

"Syukurlah, lo gak baperan sama gue."

"Gue bilang gue udah kebal sama perlakuan lo."

Makanan pun sudah berada di meja mereka, tak lama segera menyantapnya dengan cara makan asli mereka masing-masing. Seketika suasana hening, tak ada suara kecuali alunan musik melodis nan indah serta sendok yang bergesekan dengan piring mereka masing-masing.

VerDinda [SELESAI]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora