Part 9 - Keputusan

1.1K 113 5
                                    

'Katanya, cinta datang dari mata turun ke hati. Tapi itu tidak denganku, cinta itu datang lalu padam sebelum sampai pada tujuannya.'

***

Pria dengan kharisma khas wajahnya itu menatap Farah datar, ekspresinya sulit ditebak. Gadis sulungnya itu hanya bisa menunduk, tak berani menatap wajah Sang Abi.

"Abi tanya, dijawab. Jangan diem aja!"

Tubuh gadis itu sedikit terguncang, kali ini abinya berbicara dengan intonasi yang lebih tinggi. Farah mengangguk pelan. Tangannya kini meremas tangan yang satunya.

Abi menggelengkan kepalanya, entah bagaimana nasib gadis itu sekarang. Pasalnya, darimana abinya bisa tau kejadian tadi di sekolah, saat hanya dia dan Bang Fathur didalam kelas yang tertutup. Pasti sekarang abinya jadi berfikir yang aneh-aneh.

"Tapi kami ga ngapa-ngapain, bi." Ia memberanikan diri mengangkat kepalanya menatap pria yang duduk dihadapannya.

"Gak ngapa-ngapain darimana? Abi tau apa yang kalian bicarain, soal perasaan kan? Kamu juga belakangan ini sibuk sama hp! Abi ga suka. Bukan sekali dua kali, tapi ini udah yang kesekian kalinya. Abi harus ambil keputusan!" kata abinya tegas.

"K-keputusan?" lirihnya.

"Iya, keputusan yang sudah beberapa hari lalu abi fikirkan."

"Keputusan apa, bi?" tanyanya sedikit cemas.

Farah mengira bahwa Abi dan umminya akan memindahkannya ke sekolah lain. Namun seketika ia tercengang begitu mendengar bahwa orang tuanya akan memindahkannya ke pesantren.

"Nggak! Farah ga mau masuk pesantren. Abi tau kan di pesantren itu ga bebas, semua serba ada aturannya. Farah ga mau!" bantahnya.

"Udahlah teh masuk ke pesantren wae, biar tobat teteh mah." ledek Nafsah.

Farah menatap adiknya tajam, lalu mengarahkan pandangan memelasnya kepada Abi dan Ummi bergiliran.

"Ga bisa, Sayang. Ini udah keputusan Abi sama Ummi."

Ummi yang sejak tadi diam saja duduk disebelah Abi kini bersuara.

Farah mendengus kesal, ia memejamkan matanya mencoba menerima keputusan orang tuanya. Sebandal apapun mereka, tetap tak boleh membantah perkataan orang tua. Yaa begitulah kata Adhwa, adik kecilnya yang memungut kata-kata dari cerita dibuku dongeng sebelum tidurnya.

"Iraha?" Suaranya terdengar lirih dan pasrah.

"Besok lusa."

Bola mata indah gadis itu terbuka lebar mendengar jawaban abinya.

"Henteu bisa lusa atuh, Bi. Tahun depan kek, atau bulan depan. Jangan lusa dong Bii..." Gadis itu merengek.

"Karunya teuing," kata Nafsah yang kemudian tertawa mengejek Farah.

"Lebih kasihan hidup kamu tuh yang pipis di celana waktu naikkan bendera waktu upacara!" Farah tertawa membayangkan kejadian minggu lalu. Mungkin Nafsah terlalu gugup sampai bisa mempermalukan dirinya seperti itu.

Suara tawa Nafsah terhenti, wajahnya berubah kecut. Ummi dan Abi hanya menggelengkan kepala, namun tak dapat ditutupi bahwa mereka sedang menahan tawa. Sepersekian detik Farah seolah lupa dengan keputusan abinya.

"Sudahlah. Farah harus segera berberes dari sekarang, barang-barang kamu yang mau dibawa ga sedikit! Nanti Ummi bantu beres-beres siap nyiram bunga," kata Ummi yang kemudian beranjak dari duduknya.

Cinta di Sepertiga Malam Terakhir [END]Where stories live. Discover now