Part 22 - Terungkap

900 92 4
                                    

Semua santri terdiam, mereka saling melempar tatapan pada teman disampingnya begitu mendengar penuturan yang dilontarkan Ustadzah Nisa didepan sana.

Dibawah terik matahari yang sesekali tertutup awan, para santri dikumpulkan di lapangan pesantren untuk menyelesaikan kesalahpahaman waktu itu.

Ustadzah Nisa memberitahu dihadapan semua warga pesantren Daarul Yunus, bahwa bukan Farah pelaku dari pencurian itu, semuanya hanya salah paham. Namun Farah tidak bisa terima jika nama Haura tidak diseret dalam hal ini.

"Kamu nunggu Ustadzah Nisa nyebut namaku, ya?" tanya wanita yang tiba-tiba muncul dari belakang Farah.

"Ustadzah Nisa ga bakalan nyebut namaku, karir dan pesantren ini akan jatuh jika itu sampai terjadi." Haura tersenyum menjijikkan.

Farah baru ingat jika keluarga Haura adalah donatur besar yang sudah membantu pesantren ini bisa sukses seperti sekarang. Pantas saja semua memperlakukannya berbeda, termasuk para ustadzah meskipun tidak semua. Seingatnya, Kyai pemilik pesantren itu juga teman dekat pamannya Haura.

Farah menatap Haura sinis. Gadis itu berjalan penuh percaya diri kedepan, meminta dengan sopan mic yang dipegang Ustadzah Nisa. Setelah mendapatkan benda yang diinginkannya, Farah berdiri tegak menghadap para santri.

"Sekarang kalian tau kalau ini semua salah paham, bukan saya yang mengambil uang itu, tapi ada seseorang yang sengaja meletakkannya didalam lemari saya." Farah berujar mantap.

"Farah, sudah jangan dibahas," bisik Ustadzah Nisa.

Farah sama sekali tak menggubris perkataan wanita yang mematung disamping kanannya. Farah bingung, kenapa para pengajar yang bergelar Ustadz dan Ustadzah disini ingin menutupi kebenaran dan bersikap tidak adil padanya?

"Jangan tertipu dengan tampang cantik seseorang, bisa saja hatinya tak secantik rupanya. Kalian mau tau siapa biang dibalik semua ini?" tanya Farah pada para santri.

Semua bersorak mengatakan 'iya'. Farah tersenyum miring, menatap wajah kesal dan ketakutan Haura yang berdiri dibelakang, juga wajah-wajah penasaran teman-teman pesantrennya.

"Orang itu adalah Haura, Haura Zalfa. Santri Asrama Fatimah binti Muhammad, teman sekamar saya yang telah memfitnah saya! Saya mau dia diperlakukan sebagaimana saya telah diperlakukan waktu itu!" Farah menatap Haura tajam, tatapannya teralih pada Ustadzah Nisa yang tampak bingung dengan keadaan.

"Farah, apa ini? Sudah, kembali ke tempatmu!" Perintah Ustadzah Nisa.

"Maaf, ustadzah. Saya hanya ingin menegakkan keadilan disini, ini pesantren, seharusnya tidak begini!"

Sepertinya sifat Farah yang dulu kembali, terlihat dari tatapannya, ucapannya, dan perilakunya. Tidak salah memang, tapi seharusnya ia sadar akan risiko yang menantinya setelah ini.

Terlihat raut wajah beberapa ustadz dan ustadzah yang tampak pucat. Haura sudah seperti orang penting yang bisa dibilang dimanja di pesantren itu, pantas saja dia semakin menjadi dan banyak yang tidak berani padanya.

"Haura, kemarilah!" Panggil Farah dengan lantang. Tidak ada satupun yang berani ikut andil dalam situasi itu sekarang.

Mau tidak mau, Haura melangkah kedepan dengan terpaksa. Para santri hanya melihatnya datar, beberapa dari mereka berbisik-bisik, ada pula yang tidak menduga Farah berani mempermalukan Haura.

Cinta di Sepertiga Malam Terakhir [END]Where stories live. Discover now