Part 34 - Khitbah

1.2K 104 6
                                    

'Apapun yang menjadi takdirmu akan mencari jalannya sendiri untuk menemukanmu.'

Ali bin Abi Thalib

***

"Ga bisa!" Pria yang duduk di kursi roda itu mengacak rambutnya, dia tampak frustasi.

Sulit, begitulah yang terlintas di pikiran mereka. Waktu terus bergulir dengan cepat, sudah tiga hari Abhi masih belum bisa berjalan. Memang tidak sesingkat itu baginya untuk sembuh, tapi keyakinannya untuk sembuh itu yang juga tidak ada.

"Pasti bisa, nanti kita coba lagi, ya?" ujar Farah lembut.

"Calon ustadz harus optimis!" sambung Farah dengan senyuman yang mengembang diwajahnya.

Ya, ustadz. Abhi bercita-cita untuk menjadi seorang ustadz terkenal yang bisa bermanfaat untuk banyak orang. Itu juga menjadi alasan kenapa pria itu melanjutkan pendidikannya di Mesir.

"Bhi, kamu harus segera sembuh dan bisa berjalan lagi. Bukannya bulan depan kamu udah harus balik ke Mesir?" Ayah Abhi menepuk pundak putranya itu.

"Dokter bilang kamu masih bisa jalan lagi, kamu harus usaha!" Ibu Abhi ikut menasihati sambil membereskan pakaian mereka.

Hari ini mereka akan pulang, Abhi yang memintanya dengan alasan bahwa dia bosan di rumah sakit. Farah yang sudah biasa sesekali datang menjenguk pria itu kali ini ikut membantu Ibu Abhi untuk beres-beres.

Terdengar suara handphone Farah berdering, ia langsung mengangkatnya, "Assalamu'alaikum, kenapa, mi?" Tangannya masih sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas.

"Wa'alaikumussalam. Gimana keadaan Abhi?" Suara ummi terdengar diseberang sana.

"Alhamdulillah udah mulai membaik, hari ini udah boleh pulang." Farah tersenyum tipis.

"Oo gitu. Nanti kamu ga usah ikut ngantar Abhi ke rumahnya, ya? Soalnya disini ada Pak Kyai sama keluarganya menunggu jawaban kamu yang tertunda kemarin. Kamu segera pulang ya, soalnya Pak Kyai dan keluarganya mau balik ke pesantren hari ini."

Aktivitas Farah terhenti, "Ummi aja yang kasih jawabannya, bilang Farah minta maaf ga bisa terima lamaran itu."

"Loh? Kalau kali ini kamu tolak juga lamarannya, berarti kamu ga mau nikah, gitu? Kamu ini kenapa, Farah? Nungguin siapa, sih?"

Ummi sepertinya kesal dengan perkataan Farah tadi. Memang selama ini Farah tidak pernah cerita tentang perasaannya pada Abhi ke siapapun, termasuk orang tuanya.

"Bukan gitu, mi--"

"Ummi ga mau tau pokoknya kamu harus pulang sekarang dan terima lamaran dari cucu Pak Kyai! Jangan membantah! Assalamu'alaikum."

"Dengerin Farah dulu mi, hallo? Mi?" Farah menatap layar handphone ditangannya. Ummi sudah menutup teleponnya.

"Wa'alaikumussalam," lirihnya.

Farah memejamkan matanya, sekarang ia terjebak dalam situasi ini. Tidak ada alasan untuk menolak, dan tidak diperbolehkan untuk menolak. Sungguh, hatinya memberontak.

Mata Farah terbuka saat seseorang mengusap lembut pundaknya, "Kenapa, nak? Tadi ibu dengar kamu bahas soal lamaran sama ummi kamu di telpon. Ada yang datang melamar kamu, ya?" Ibu Abhi menatap Farah lekat.

Farah mengangguk pelan. Abhi dan ayahnya menatap Farah, sepertinya mereka sudah melakukan itu sejak tadi. Sementara Alin sedang kuliah, jadi adiknya Abhi itu tidak ada disana sekarang.

"Farah harus pulang sekarang, bu. Ummi minta Farah untuk terima lamaran itu." Gadis itu mengambil tasnya, lalu mencium punggung tangan ibunya Abhi.

"Assalamu'alaikum," lirihnya yang kemudian berlalu keluar ruangan. Kepalanya menunduk, tangannya sigap mengusap air dipeluk matanya.

Cinta di Sepertiga Malam Terakhir [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang