Part 14 - Mantan Pacar

965 99 3
                                    

'Jangan menilai orang dari masa lalunya, karena kita tidak pernah tau usaha apa yang telah dia lakukan untuk keluar dari sana.'

***

"Kamu cuma dapet waktu seminggu untuk belajar Bahasa Arab. Lewat dari itu, ustadz dan ustadzah disini tidak akan meladenimu kalau kamu bicara sama mereka menggunakan Bahasa Indonesia," kata Haura sambil menyiapkan buku-bukunya.

Farah tercengang, bahkan dia tidak berkedip sama sekali. Memikirkan apa dia bisa bicara dengan Bahasa Arab dalam waktu seminggu, sementara niatan belajar di pesantren saja sebenarnya belum ada.

"Siapa yang akan ngajariku Bahasa Arab?" tanya Farah beberapa saat kemudian.

Mengingat pesantren itu memiliki peraturan, semua santri bangun pagi jam 3 atau paling lama jam 4, mandi, sholat tahajjud, menghafal, sholat subuh, bersiap-siap untuk pergi belajar, sarapan, belajar, sholat Dhuha, muraja'ah hingga waktu Zuhur tiba, sholat Zuhur, makan siang, lalu sambung belajar lagi, sholat Ashar, setor hafalan minimal 2 lembar, istirahat/ekskul, sholat Maghrib, ngaji bersama, sholat Isya, makan malam, sisanya waktu untuk mengerjakan tugas dan paling lama tidur jam 22:00/23:00 WIB.

Mengingat waktu yang tertata dan terjadwal padat itu, disela-sela waktu mana dia akan fokus belajar Bahasa Arab? Belajar bahasa asing itu tidak mudah!

Cut, Ily, dan Haura saling tatap, kemudian mereka menatap Farah secara bersamaan. Ily berjalan menghampiri Farah yang duduk di ranjangnya. Gadis itu duduk disebelah Farah.

"Kami dulu belajarnya sama ketua asrama, tapi kebetulan ketua asrama Akhwat lagi ga ada di pesantren. Kalau sama yang lain, belum tentu mereka mau meluangkan waktu untuk ngajarin kamu." Ily menatap Farah lekat.

"Terus aku belajarnya sama siapa dong?" Terdengar nada kecemasan dari Farah.

"Kalau minta tolong ustadzah, belum tentu mereka bisa karena mereka pasti sibuk, murid disini ga sedikit," kata Cut.

Hening. Tampak mereka sedang berfikir, mencari solusi agar Farah bisa segera bicara dengan Bahasa Arab.

"Kenapa ga kalian aja yang ngajarin aku?" pinta Farah.

Cut, Ily, dan Haura menggeleng cepat secara bersamaan.

"Kenapa?" Farah mengernyit bingung.

"Kami belum ada bakat buat ngajarin orang, dan ngajarin Bahasa Arab ke pemula itu ga mudah, Farah." Cut berjalan menghampiri cermin disebelah ranjang Farah, membenarkan hijabnya.

Ily dan Haura mengangguk, membenarkan ucapan Cut barusan.

"Nanti aku tanyain ke Ustadzah Nisa, siapa tau dia ada saran." Haura tersenyum.

Farah mengangguk setuju, disusul anggukan kepala Cut dan Ily. Kini mereka bersiap-siap untuk pergi belajar, tapi sebelum itu mereka wajib sarapan berjamaah di dapur.

Dapur yang bersebelahan dengan ruang makan itu tampak sudah hampir dipenuhi santriwati, beberapa meja panjang dengan bangku yang disusun sedikit rapat agar dapat menampung hampir semua siswa perempuan di pesantren itu.

Jika melihat tiga meter kedepan, tampak bangunan yang sama dengan ruang makan itu. Bedanya, itu khusus untuk Ikhwan (laki-laki). Pesantren Daarul Yunus memang terkenal disiplin, untuk itu semua santrinya dididik untuk disiplin mematuhi peraturan yang ada di pesantren.

Cinta di Sepertiga Malam Terakhir [END]Where stories live. Discover now