4. permasalahan minggu pagi

146 23 12
                                    

Minggu pagi di kosan udah ribet sendiri gara-gara kehabisan gas. Masalahnya udah jam tujuh lewat tapi belum ada juga yang keluar kamar dan pagi-pagi begini gue pengen makan mie rebus pake telor. Padahal semalem gak ada yang begadang, tapi tetep aja orang-orang gak pada nyaut pas gue ketukin pintunya satu-satu. Berujung gue harus nelfon Daffa karena kalau mau minta tolong mas-mas kosan sebelah terlampau malu. Mau nelfon mas tukang gas juga gue gak punya nomornya.

Anak itu sempet ngomel-ngomel pas gue telfon, tapi akhirnya nyampe juga dalam kurun waktu setengah jam. Masih pake piyama tidur lengkap dengan muka bantalnya.

"Belom mandi ya!" tegur gue begitu dia masuk kosan berasa kayak rumah sendiri.

"Kayak sendirinya udah aja!" balasnya ketus.

Daffa langsung menuju dapur dengan langkah gontai dan gue ngekor di belakangnya. Sejujurnya gue gak tau dia bisa apa nggak masang gas. Tapi gue cuma kepikiran dia buat dimintain tolong. Lagian waktu itu pernah juga dia dimintain angkat galon dan dia kuat-kuat aja. Jadi.... ya masang gas kayaknya beda-beda tipis, kan?

"Mana gas barunya?" tanya dia setelah lepas regulator dari gas kosong.

Gue ambil gas tiga kilo yang ada di pojok dapur terus naruh gas itu di depan Daffa. Seolah udah berpengalaman, dia langsung masang gas tadi ke regulatornya. Tapi anehnya setelah dipasang malah ada bunyi mendesis gitu dari gasnya.

"Udah, coba nyalain kompornya," kata Daffa.

"Belum, itu masih bunyi gasnya," sahut gue.

"Emang biasanya nggak bunyi?"

"Enggak. Kamu pernah masang gas, gak, sih..."

"Pernah kok di panti! Di rumah juga pernah sekali."

Gue kucek-kucek mata sambil mikir kenapa gasnya bisa bunyi.

"Kurang erat kali regulatornya?"

"Enggak, ini udah pas kok."

"Ada apaan nih ribut-ribut?"

Gue sama Daffa langsung noleh begitu denger suara orang lain yang bukan kita. Kak Irin, masih jelas keliatan ngantuknya, memasuki dapur sambil bawa mug. Kenapa bisa banget dari tadi digedorin pintu nggak bangun tapi denger keributan di dapur bangun.

"Ini, mau pasang gas," kata gue.

"Terus bisa gak, tuh, gasnya?" tanya Kak Irin sambil nuang air panas buat bikin teh.

"Kata Kak Meyi belum, ini masih bunyi," jawab Daffa.

"Coba." Kak Irin mendekat ke arah kompor, ngambil posisi awal Daffa yang lagi jongkok terus dengan saksama dengerin suaranya. "Ini udah dikasih karet belum dalemnya?"

"Hah? Emang ada karetnya?"

Kak Irin muter bola mata, seolah itu hal yang gak perlu dipertanyakan, terus balik lagi ngurusin teh manisnya.

"Iyalah, Daf, masa gitu aja gak tau? Gimana tar kalo berumah tangga sama Mei?"

Daffa mendelik ke arah Kak Irin tanpa ngelirik gue. "Yaudah, karetnya mana?"

Sebelum balik ke kamarnya, Kak Irin bilang karet gasnya ada di pinggir jendela yang mana langsung gue ambil karena Daffa lagi jongkok jagain gas, gak bisa diganggu gugat. Kayaknya kita berdua sama-sama lupa kalo gasnya mesti dikaretin dulu sebelum dipasang, karena pas udah nemu karet juga Daffa lancar-lancar aja masangnya.

"Kak, mundur dulu sana," kata Daffa begitu selesai masangin gas.

Gue kebingungan. Bukannya ngikutin apa kata dia, gue malah nanya, "Emang kenapa?"

"Udah mundur aja, aku mau coba nyalain kompornya, nih."

"Kok serem sih! Kayak mau meledak aja!"

"Ya kali aja?"

"Jangan bercanda ya, Adimas! Itu pasti udah bener!"

Daffa noleh ke arah gue dengan muka ngeledek. "Iyalah udah bener kan aku masangnya bener."

Selanjutnya, dia nyalain kompor dan berhasil. Mukanya langsung songong. Kalau nggak menjulang kayak sutet, udah gue toyor kepalanya.

"Kan, aku bisa masang gas," kata Daffa dengan pedenya.

"Yang bilang gak bisa siapa?"

Dia diem sejenak, keliatan kikuk sebelum bilang dengan suara yang super pelan, "Ya, kan.... kali aja kakak ragu gitu kayak tadi yang dibilang Kak Irin."

"Apaan...." Suara gue sama menciutnya, bingung antara gak mau bahas itu atau mau denger langsung dari mulutnya Daffa.

"Berumah tangga," tandasnya.

Seketika, Daffa yang awalnya malu-malu kucing malah jadi super pede dengan omongannya. Malah gue yang ngerasain panas di seluruh wajah gue.

"Apaan sih, lo masih semester lima juga!" kata gue dengan nada naik tapi suaranya masih gak lebih dari cicitan.

"Kan gak ada salahnya mapping masa depan."

Gue cuman menggeleng pelan. Sebagian dari diri gue masih gak mau bahas soal masa depan yang terlalu jauh sama dia. Tapi sebagian lagi meyakinkan kalau ini cuman candaan, belum tentu juga diseriusin. Tetep aja gue akhirnya diem gak menanggapi omongannya.

Daffa juga diem, tapi ngeliat gue ngisi panci pake air, dia langsung histeris.

"Demi apa sih aku disuruh datang masang gas cuma karena kamu mau masak mie?!" Katanya dengan mata membulat gak percaya.

Gue mengernyitkan dahi. "Ya, emangnya kenapa?"

"Gak sehat tau makan mie pagi-pagi! Keluar aja ayo cari yang lain."

"Tapi aku pengennya makan mie," protes gue. "Kalo mau yang lain mah aku juga udah keluar dari tadi."

Panci ditangan gue direbut Daffa kemudian ditaruhnya di atas kompor.

"Kalau makan mie tuh jangan sepagi ini, siangan aja," omelnya.

Biasanya Daffa kalau lagi ngomel suka pasang muka lucu sambil monyongin bibirnya, tapi kali ini dia keliatan serius, bikin gue enggan buat ngeledekin dia. Tangan gue kemudian ditarik dan kita berdua akhirnya cari sarapan di luar. Pake piyama tidur. Gagal sudah memenuhi keinginan gue buat masak mie pagi ini.





a/n: capek gak sih kalian isinya pacaran mulu tp yaudahlah selamat menikmati selama blm ada badai

over everythingWhere stories live. Discover now