22. congratulations

100 18 17
                                    

"Lari mulu tiap sore emang gak capek?" tanya Kak Irin waktu gue tanya siapa yang mau ikut lari bareng.

Entah kenapa, lama-lama bosen juga olahraga sendiri. Kalau ada yang temenin kan ada yang bisa diajak ngobrol walau akhirnya kadang suka mampir ke tukang bakso.

"Abis gabut," timpal gue. "Kasih kerjaan dong."

Bila langsung menoleh secepat kilat. "Kerjain tugasku mau gak, kak? Full, nih, dari Senin sampe Jumat semuanya ada tugas."

Gue otomatis menggeleng ngeri. Kasian, sih, emang tugasnya menggunung, tapi ya gue mana ngerti orang jurusan kita aja beda.

"Mending ikut gue," sahut Tyas yang bikin gue menaikkan alis.

"Ke mana?"

"Ngabisin promo go-pay sekalian jalan ke mall."

Gue menggembungkan pipi, mempertimbangkan ajakan Tyas saat Kak Irin nyamber, "Udah ikut aja daripada gak ada kerjaan?"

--

Udah sebulan lebih Tyas putus dari cowoknya, Adnan, dan dia yang dulu keliatan banget galaunya, sekarang udah jauh lebih ceria kayak biasanya. Sejujurnya, gue agak merasa bersalah karena waktu Tyas putus dulu, gue hampir nggak ada waktu buat nemenin dia cuma sekedar buat nyemangatin atau apa. Dulu malah gue sibuk sama Daffa dan disusul masalah gue sama Daffa yang bikin gue pusing bukan main.

Keputusan buat ikut Tyas jalan nyatanya nggak buruk-buruk amat. Selain makan banyak dan cuci mata liat ini itu, gue sama Tyas juga berhasil catch up sama beberapa hal yang nggak pernah sempet kita obrolin belakangan ini.

Tyas udah nggak se-sensitif sebelumnya kalau bawa-bawa nama Adnan. Dia malah menceritakan kronologisnya kenapa dia putus sama Adnan yang penyebabnya adalah ... udah gak cocok.

"Klasik," tutur Tyas. "Sebenernya gue tau dia pengen putus karena kita udah jarang banget ketemu. Dia sibuk ngurusin wisuda, belum lagi ada panggilan kerja dari tempat magangnya di luar kota."

Gue manggut-manggut, mencoba memahami alasannya walaupun nggak bisa sepenuhnya karena gue nggak pernah ngerasain apa yang Tyas rasain.

"Pasti lo masih sayang," tebak gue ragu-ragu.

Tyas menoleh ke gue. "Jujur, gue ngerasanya dulu masih sayang banget. Tau sendiri sampe gue gak mood ngapa-ngapain setelah putus. Tapi kalau dipikir, ya, ternyata itu cuma tahap denial kalau emang kita ternyata udah gak sesayang dulu.

"Kayak emang udah sama-sama gak sayang, terus dari situ gue mulai ikhlas. Lagian kalau gak sayang apa yang mau diperjuangin."

Sedari tadi yang kita lakukan cuma keluar masuk toko aksesoris dan sekedar liat-liat atau coba-coba aja. Setelah dengar pernyataannya Tyas, gue sekarang jadi mikir. Apakah gue masih sayang sama Daffa? Sebisa mungkin gue coba menjawab enggak, tapi selalu ada yang berontak tiap kali gue jawab demikian.

"Lo sendiri kenapa?" tanya Tyas yang berhasil menarik gue dari lamunan tentang Daffa. "Kenapa putus sama Daffa? Si Daffa bucin banget, gue kira kalian bakal langgeng ampe kakek nenek."

Sebuah kekehan pelan meluncur dari mulut gue. Ironis juga Tyas bilang Daffa bucin tapi dia yang minta putus waktu itu.

"Biasalah, ada masalah, terus gue rasa nggak bisa dicari jalan keluarnya. Jadi ... daripada ribut terus capek, mending udahan aja."

"Lo masih sayang gak sama Daffa?"

Sudut bibir gue tertarik untuk senyum. Gue nggak tau definisi masih sayang itu kayak gimana. Apa dengan nangis-nangis dan kepengen balikan itu tanda masih sayang? Atau simply dengan masih kepikiran walaupun cuma sesekali? Atau mungkin masih terasa sakit di saat kepikiran tentang dia? Karena sejujurnya, gue kepikiran Daffa hanya di saat gue nggak lagi melakukan apapun. Dan gue cuma nangis di hari dia memutuskan hubungan kita. Setelahnya gue langsung membiasakan diri untuk nggak mengecek chat dari Daffa atau membayangkan scene klise di cerita-cerita novel di mana Daffa bakal kembali dan mohon-mohon buat balikan.

Walau harus gue akui kadang memang masih terasa sakit sedikit tiap kali inget Daffa.

"Yah, gue udah belajar ikhlas juga."

"Makanya lo gak galau waktu abis putus sama Daffa?" tanyanya lagi. "Sumpah gue penasaran banget kok lo bisa-bisanya abis putus malah produktif banget gak kayak gue."

"Soalnya dari awal gue gak mau terlalu berharap kita bakal langgeng," kata gue. "Jadi gue kayak udah ada persiapan kalau sewaktu-waktu bakal putus. Kalau langgeng ya sukur, kalau enggak ya jatuhnya nggak terlalu sakit juga."

"Gila, lo mikirnya sejauh itu." Tyas menggelengkan kepala. Dia masih adaptasi sama pernyataan gue sebelum lanjut ke pertanyaan berikutnya. "Tapi kalau diajak balikan mau gak?"

"Nggak."

Gue nggak pernah balikan sama mantan-mantan gue. Entah gimana caranya, tapi gue selalu nemu jalan keluar dari patah hati karena mereka dan segala sesuatu yang berurusan sama mereka.

Entahlah, balikan rasanya kayak pulang melewati jalan yang sama, yang udah bisa ditebak kayak apa. Balikan rasanya kayak mengulang nonton film yang udah pernah lo tonton, bahkan sampe hafal scene dan dialognya, dan udah nggak ada rasa-rasa excited yang sama. It's awkward, it's predictable, and it might come off as boring.

Gue tiba-tiba dikagetin sama Tyas yang menggoyang-goyangkan tangan gue. Sebelum sempet nanya kenapa, hati gue udah jatuh duluan begitu melihat Daffa lagi jalan sama seorang cewek yang baik Tyas ataupun gue nggak kenali. Susah payah gue menelan ludah dan mengambil napas. Pertama kalinya liat Daffa semenjak dia mutusin gue, dan kenapa harus banget pas dia jalan sama cewek lain? Ketawa-ketawa sambil gandengan tepat di hadapan gue.

Daffa sempet menangkap tatapan gue dan gue sempet ngeliat senyumnya yang langsung luntur sebelum gue buang muka, pura-pura nggak lihat.

Setelahnya gue nggak liat dan nggak mau liat lagi gimana reaksi dia. Curang. Gue masih mikirin pertanyaan apakah gue masih sayang sama dia atau nggak, tapi dia udah ada gandengan baru aja.

Alexa play congratulations.


-


hadeh

over everythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang