21. kabur

86 16 5
                                    

Minggu-minggu setelahnya adalah minggu-minggu tersibuk gue. Bukan cuma bolak-balik ke kampus setiap hari ngejar dosen, tapi gue juga mencoba banyak hal baru, hal yang belum pernah gue lakukan sebelumnya. Contohnya, belanja ke supermarket sendiri dan mulai membiasakan masak sendiri di kosan--yang berujung nggak gue makan karena keburu kenyang masak--sampe lari sore keliling komplek, dan pergi ke bioskop sendiri. Awalnya memang canggung, tapi setelah terbiasa jadi kerasa serunya kayak gimana.

Melihat perubahan gue yang cukup signifikan, anak-anak kosan mulai bertanya-tanya kenapa. Gue cuma bisa jawab gue butuh suasana baru, dan mereka syukurnya nggak meminta jawaban lebih. Lagipula, gue rasa Bila sama Tyas udah denger langsung dari Daffa makanya mereka nggak pernah bawa-bawa nama itu di depan gue lagi. Kak Irin juga cukup pintar baca situasi karena nggak pernah tanya-tanya soal Daffa lagi. Padahal dulu sehari aja Daffa nggak kesini mereka ngiranya kita lagi berantem.

Napas gue masih terengah waktu sampe depan kosan dan menemukan seseorang duduk di teras kosan. Gue pikir gue lagi berhalusinasi, taunya memang benar itu sosok yang gue liat dari jauh tadi.

"Alta," panggil gue.

Lelaki yang duduk di teras kosan mendongak, mengamati gue yang baru habis lari dari atas sampe bawah.

"Tumben olahraga," ledeknya.

Otak gue nggak punya waktu buat kesal karena gue berusaha mencerna kenapa adik gue bisa-bisanya duduk di depan kosan masih dengan seragam sekolahnya.

"Kabur ya?!"

Alta mencebikkan bibir. "Dari rumah, iya. Dari sekolah, enggak. Ini udah jam lima, udah bubar."

Rumah dan kosan gue letaknya di kota yang berbeda, waktu tempuhnya kurang lebih tiga jam. Kalau Alta betulan kabur, pasti ada sesuatu yang serius yang lagi dia hadapi. Dia nggak mungkin menempuh tiga jam perjalanan dengan cuma-cuma.

"Kabur kok nggak bawa baju," ujar gue setelah liat tas sekolahnya yang kempes. "Pulang, gih, dicariin Mama sama Papa nanti."

"Bawa, kok," katanya. "Aku nginep di sini ya, plis? Tidur di sofa juga gak apa-apa."

"Emang kenapa di rumah?"

"Kakak mandi aja dulu, gih."

--

Alta memakan ayam goreng di hadapannya dengan lahap. Berdasarkan tebakan gue, pulang sekolah tadi dia pasti langsung nyamperin gue ke kosan tanpa makan siang dulu, makanya gue sekalian ajak dia makan keluar. Saking lapernya, Alta hampir lupa sama ceritanya.

"Jadi." Gue memulai setelah dia benar-benar selesai sama urusan mengisi perut. "Kenapa lagi?"

Alta melirik gue lalu menundukkan kepalanya sebelum menjawab beberapa saat kemudian.

"Males di rumah, diceramahin terus," tuturnya.

"Karena?"

"Nilai aku turun."

Gue mengangguk pelan. Bagi orang tua lain, dapet nilai bagus bukan suatu jaminan untuk bahagia, tapi bagi Mama sama Papa, nilai anak-anaknya jadi patokan kebahagiaan mereka. Selalu dengan alasan 'Papa udah kerja keras buat sekolahin kalian, jadi kalian harus bisa juga kasih yang terbaik buat Papa sama Mama'. Padahal yang terbaik nggak harus nilai. Padahal nggak dapet nilai yang bagus sekalipun bukan berarti kita nggak mencoba yang terbaik.

Bagi sebagian orang, mungkin Alta terkesan berlebihan sampe-sampe harus kabur. Bagi Alta, urusan nilai adalah sesuatu yang bikin dia tertekan bukan main.

"Nilai apa? Yang mana?" tanya gue sesaat setelah baru sadar kalau dia baru bagi rapot bulan lalu dan nilainya baik-baik aja.

"Nilai try out."

"Try out?" pekik gue dengan mata yang mungkin hampir loncat.

"Konyol, kan?" Alta berdecih.

Gue nggak mau mendzolimi orang tua sendiri, tapi memang konyol. Nilai tryout bukan jaminan apakah Alta bakal lulus apa enggak. He generally does well in his class.

Biasanya, Kak Kiana yang bakal menengahi kalau ada masalah kayak gini, tapi karena Alta bilang dia lagi ke luar kota, dia nggak tau mau lari ke siapa lagi. Selanjutnya, cerita Alta meluncur dari mulutnya tanpa hambatan, seolah semuanya memang udah sampe ubun-ubun dan dia udah muak. Nggak hanya soal nilainya, Alta juga cerita kalau Mama kesal bukan main waktu dikasih tau gue udah putus sama Raka dan gue cuma bisa menghela napas kasar.

Ketika dituntut jadi apa yang mereka mau, gue sama Alta berontak dengan alasan yang berbeda. Alta berontak sebagai bentuk pelampiasan, sedangkan gue berontak buat nunjukin kalau jalan yang gue pilih itu benar.

Di saat kayak gini gue malah kepikiran Daffa dan ibunya. Aneh banget. Alta mengingatkan gue sama Daffa, dan kalau Daffa di sini mungkin dia bisa sedikit banyak denger cerita Alta serta bikin dia merasa lebih baik. Tapi walaupun mereka mirip, ibunya Daffa terasa jauh lebih penyayang, makanya ... salah satu konsekuensi berat dari pisah sama Daffa adalah pisah sama ibunya juga.

Gue menggeleng sambil menghela napas keras-keras, menarik perhatian Alta yang lagi melamun.

"Kenapa?" tanyanya.

"Nggak, gapapa."

Gapapa. Cuman gue nggak seharusnya mikirin tentang dia aja.

Gue mengacak rambutnya Alta. "Jangan terlalu mikirin nilai, nanti kamu bisa gila."

-

over everythingWhere stories live. Discover now