26. roller coaster

103 15 10
                                    

Gue benar-benar nggak habis pikir sama cara kerja dunia. Jaman PDKT dulu aja kita mesti susah payah bikin kebetulan palsu sekadar buat ketemu, giliran udah jadi mantan yang pengen gue hindari, dia malah kayak membelah diri ada di mana-mana. Gue makin merasa ditertawakan semesta waktu jalan berdampingan sama dia, karena ternyata yang sebelumnya Kenta tunggu, tuh, cewek yang datang bareng Daffa. Mereka entah ikut komunitas apa yang kebetulan mengadakan perkumpulan malam itu juga. Jadi mereka berdua permisi buat gabung sama temen-temen mereka yang lain, meninggalkan gue dan Daffa berdua.

Yang bikin gue bertanya-tanya, jadi sebenarnya yang diajak Satria, tuh, Daffa atau Kenta?

Entahlah. Semakin dipikirin gue semakin jadi sensi, lagian kenapa ada Daffa, sih? Kenapa Tyas ngajakin gue, sih, kalau emang dia tau bakal ada Daffa?

Gue berjalan tanpa arah, berusaha memepercepat langkah dari Daffa yang ngekor di belakang gue. Niat awal gue buat makan harus dipertimbangkan ulang karena gue nggak mau kalau harus makan bareng sama dia. Seenggaknya gue harus bikin dia capek dulu biar dia nggak mengikuti gue ke mana-mana.

"Mau ke mana, sih?" tanyanya kemudian dengan suara yang hampir udah kesal.

Gue menoleh ke belakang. Diliat dari air mukanya, kesabarannya memang berkurang sedikit demi sedikit.

"Jalan aja," jawab gue, nggak berniat untuk memperpanjang konversasi.

"Ya, jalan ke mana? Apa cari makan apa mau liat gigs?"

"Gak tau," ucap gue singkat lantas teringat jaket dia yang belum gue kembaliin di momen-momen kayak gini. "Jaket kamu ... masih ada di aku."

"Aku laper," serunya tanpa menggubris topik soal jaket.

Gue mendengus pelan. Daffa berhasil menyamakan langkahnya sama gue, yang berarti kita jalan berdampingan lagi. Dihadangi tembok yang sengaja gue bangun tinggi-tinggi.

"Yaudah beli makan."

"Ayo ikut," ajaknya tanpa menatap gue. Ralat, ajak sepertinya bukan kata yang tepat karena Daffa terdengar lagi memerintah gue.

"Aku mau cari makanan lain."

"Ikut," tandasnya yang bikin gue makin heran sekaligus kesal.

Apaan, sih? Dari tadi ngekorin gue, sekarang maksa-maksa gue ikut sama dia. Nggak jelas banget.

"Nggak."

Daffa menundukkan kepalanya lalu berkata dengan pelan, "Cowok di sini matanya jelalatan, dari tadi banyak yang liatin kamu."

Refleks gue mengedarkan pandangan ke sekitar gue, tapi nggak berani untuk menatap semuanya satu-satu. Alhasil gue kembali menunduk lantas menggenggem erat tali tas gue buat mengusir rasa nggak aman yang tiba-tiba menyergap. Daffa mengartikan itu sebagai sinyal kalau gue menurut, dan benar aja, tanpa perlu dikasih tau lagi, gantian gue yang mengekor dia.

Baik gue maupun Daffa nggak repot-repot menyambung percakapan dari sebelumnya, entah karena nggak ada bahasan lagi atau karena butuh usaha ekstra untuk menghidupkan lagi sesuatu yang udah mati. Daffa keukeuh bawain plastik berisi makanan gue yang akhirnya gue serahkan juga karena malas berargumen lagi.

Kita berdua berakhir duduk lesehan--karena memang nggak ada tempat duduk, emangnya ini restoran--di tempat yang jauh dari hiruk pikuk orang-orang. Daffa nggak jarang sibuk sama HPnya sendiri, dan gue membalas upaya sibuk sendiri itu dengan bersenandung sama lagu-lagu yang terdengar dari atas panggung. Asal senandung aja, gue bahkan kadang nggak tau amat sama lagunya, sampe ada satu lagu yang melodinya langsung gue kenal dan gue berhenti bersenandung saat itu juga.

Daffa yang sadar waktu baru masuk chorus seketika tersedak makanannya dan mau nggak mau gue bantuin nawarin dia minum.

"Makasih," ucapnya setelah batuk-batuknya reda.

over everythingWhere stories live. Discover now