7. cerita-cerita

100 22 4
                                    

"Ibu kamu bakal suka kan?"

Itu mungkin pertanyaan yang sama yang gue lontarkan ke sekian kalinya ke Daffa hari ini. Panik gue udah nyampe ubun-ubun waktu sadar kita udah sampe di depan rumahnya Daffa. Katanya, ibunya udah mohon-mohon biar Daffa bawa pacarnya ke rumah. Alhasil hari Minggu—setelah berbagai macam persuasi—dia sukses membujuk gue buat ikut ke rumah.

Daffa cuma tinggal berdua sama ibunya, karena kakaknya udah nikah dan tinggal di luar kota, jadi dia juga sering ceritain tentang ibunya. Kebanyakan tentang hal baik kayak: masakan ayam rica-rica ibunya itu paling enak, terus ibunya selalu bikinin coklat panas kalau Daffa lagi sakit, dan ibunya selalu welcome sama pacar-pacarnya Daffa. Yang terakhir bikin sebenernya bikin gue bertanya-tanya berapa banyak cewek yang udah dia bawa ketemu sama ibunya? Tapi rasa gugup gue ngalahin rasa penasaran.

"Gak usah nervous gitu, selama masih sopan Ibu bakal suka kok," katanya.

"Tapi ini sopan, kan?"

"Udah sopan, Ibu bakal suka, aku apalagi, kamu super cantik hari ini."

Gue mencibir. Setelah keluar dari mobil, refleks gue merapikan dress motif bunga-bunga dan kardigan maroon yang gue pakai. Sebenernya, itu adalah salah satu trik buat ngilangin gugup, tapi gugupnya masih nempel, bahkan ngelebihin waktu ditembak Daffa.

Daffa ngulurin tangan yang tanpa ragu gue pegang. Dia terkekeh liat betapa gugupnya gue dan gue cuma bisa ngancem dengan meremas tangannya.

Untuk ukuran rumah yang ditinggalin dua orang, rumah Daffa terhitung besar. Furniturnya juga keliatan mewah. Lalu gue inget ibunya Daffa kerja di salah satu perusahaan furnitur.... dan berbagai macam pertanyaan mengenai furnitur mendadak muncul di otak gue kalau-kalau nanti kehabisan bahan obrolan.

"Eh, udah datang! Daffa, kebiasaan kalau masuk gak salam dulu!"

Kemunculan seorang wanita paruh baya seketika bikin gue jengah begitu gue sama Daffa memasuki ruang tengah. Dia keliatan santai dengan setelan celana kain dan kaos bertuliskan sebuah brand olahraga.

"Yaudah, nih, Assalamualaikum!" kata Daffa kemudian.

Ibunya geleng-geleng kepala tapi tetep jawab salam juga. Dia mengalihkan pandangannya ke arah gue, bikin gue ngeh untuk cepet-cepet cium tangan.

"Mei, tante." Gue mengenalkan diri.

"Bener kata Daffa, kalau ditanya Mei orangnya kayak apa dia jawabnya manis terus," katanya.

Gue cuma bisa senyum dan teriak dalam hati. Muka gue pasti udah merah dan Daffa jelas-jelas lagi nahan ngetawain gue.

"Hehe makasih, tante bisa aja," kata gue pelan. "Daffa juga udah cerita banyak tentang tante."

"Oh ya? Ayo masuk dulu, kita ceritanya habis makan aja," balasnya sambil nuntun gue ke ruang makan.

Selama makan siang, ibunya Daffa sempet tanya-tanya hal trivial soal gue, seperti gue tinggal dimana, hobinya apa, dan Daffa orangnya kayak gimana kalau ke gue. Ya gue bilang aja manja karena emang kenyataannya gitu.

"Enggak, ya! Yang ada kebalikannya, kakak tuh yang suka manja!" elak Daffa.

"Dia emang manja, di rumah juga gitu," kata ibunya yang bikin Daffa mencebikkan bibir.

Suasana nggak begitu kaku lagi selepas makan siang. Ibunya santai banget yang bikin gue sedikit bernapas lega. Setelahnya kita bertiga ngumpul di ruang tengah, ibunya Daffa ngasih liat gue album foto masa kecilnya. Kebanyakan foto-foto Daffa waktu umur 3-4 tahun dia dikelilingi sama banyak anak kecil lainnya. Lagi rayain ulang tahun, lagi bersih-bersih area halaman, lagi ngaji bareng, dan semuanya nggak ada tanda-tanda ibunya Daffa ada di sana.

"Dari kecil pipinya udah gembil," gumam gue sambil uyelin pipinya lewat foto.

Daffa tiba-tiba naro dagunya di bahu gue yang langsung gue tepis karena malu ada ibunya. Tapi tetep aja dia nggak peduli, kalau nggak keukeuh namanya bukan Daffa.

"Kamu udah tau, kan? Daffa udah pernah cerita?" tanyanya tiba-tiba.

Bibir gue tersenyum, tapi dahi gue mengernyit. Rasanya gue tau mengarah kemana pertanyaan ibunya. Daffa di sebelah gue juga kayaknya tau maksud dari ibunya. Dia ngangkat dagu dari bahu gue dan duduk sedikit menjauh, seolah ngasih ruang buat gue dan ibunya ngobrol.

"Cerita apa, tante?"

"Cerita dia dulu," jawabnya. "Di panti asuhan."

"Oh.... udah, kok," jawab gue tersenyum.

Daffa pernah cerita, sesayangnya dia sama ibunya, dulu dia pernah juga ngelewatin fase dimana dia benci ibunya sampe-sampe kabur dari rumah. Anak ini ngabisin delapan taun pertamanya di panti asuhan, bareng sama anak-anak lain yang udah gak punya orang tua.... ya, atau yang bernasib sama kayak dia. Ibu yang sekarang tinggal bareng dia, adalah ibu yang sama dengan ibu yang melahirkan dan menaruh Daffa di depan pintu panti asuhan waktu umur lima bulan.

Katanya, Ibu punya masalah ekonomi dan gak sanggup biayain hidup Daffa, jadi dia pikir daripada Daffa menderita, lebih baik diserahkan aja ke panti asuhan. Baru delapan tahun kemudian, ibunya 'adopsi' Daffa. Dia sendiri baru tau kenyataannya sewaktu umur tiga belas tahun. Daffa pikir ibunya udah menyerah sama dia waktu Daffa ditaruh di depan panti asuhan, ibunya pikir lebih baik buat Daffa dapet hidup yang lebih layak daripada harus sengsara sama ibunya. Gue pikir keduanya ada benernya. When you're a parent, you just want the best for your kid even if it means having to part with them. Even if it means they think your best is their worst.

"Tante .... Boleh tanya gak?" tanya gue setelah ada jeda lama. Gue baru melanjutkan ketika ibunya Daffa mengangguk, ngasih sinyal buat nanya. "Waktu itu.... selama delapan taun itu, emang tante gak takut kalau ternyata Daffa udah diadopsi sama orang lain?"

Sebuah senyum menarik ujung bibirnya. Saat gue ngelirik Daffa di samping gue, dia keliatan lagi menyimak, tapi tangannya diem-diem narik tangan gue dan menggenggamnya erat.

"Takut pasti ada. Orang tua mana yang sebenernya mau pisah sama anaknya?" katanya masih dengan senyuman yang bertahan. Gue simpulkan, ibunya memang murah senyum dan Daffa juga nurunin sifat ini dari ibunya. "Kalau gitu, ya, berarti Daffa memang pantas dapet orang tua yang lebih baik. Tapi, nyatanya, tante dikasih kesempatan lagi buat ngerawat Daffa."

Sampe sini rasanya suasana udah mulai mellow. Ibunya Daffa memang nggak nangis, tapi dia kembali liatin album Daffa kecil lembar per lembar, seolah lagi nginget masa lalu. Daffa juga diem aja, gak ada respon apapun dari anak berisik yang sedari tadi pura-pura main HP waktu gue sama ibunya ngobrol.

"Daffa pasti bandel dulu, makanya gak ada yang mau adopsi dia," celetuk ibunya kemudian.

Tawa gue nggak bisa nggak pecah karena itu hal terlucu yang gue dengar hari itu. Daffa cuma mendengus kesal terus menggerutu, "Aku anak paling baik di panti tau, Buk!"

over everythingWhere stories live. Discover now