50. tidur siang

75 16 9
                                    

Mata gue terasa berat sekian waktu setelah selesai makan. Memang kayaknya kebiasaan yang paling susah dihilangkan tuh ngantuk setelah makan--walau gue nggak yakin ini bisa dikategorikan sebagai kebiasaan. Pada akhirnya gue menguap juga setelah ditahan-tahan. Daffa yang ngeh kalau gue udah mulai keliatan ngantuk langsung menaikkan alis.

Dia melap tangannya setelah kelar bantu gue cuci piring. "Jangan ngantuk."

"Enggak," elak gue walau nyatanya berbanding seratus delapan puluh derajat.

Kalau hari biasa gue bakal nggak peduliin omongannya dia, tapi hari ini, tuh, pertama kalinya gue ketemu Daffa setelah sebulan lebih karena dia sibuk KKN. Padahal dia bisa aja pilih magang kayak Tyas sama Bila, tapi malah ngerepotin diri sendiri.

Daffa mengalungkan lengannya di leher gue dari belakang. Rasanya makin pengen ambruk ke kasur aja, tapi dia cuma cengengesan.

"Ayo katanya mau keluar," desaknya sambil usek-usek rambut gue. "Kamu ganti shampoo ya."

"Iya, tapi tetep aja gak cocok," jawab gue sembari jalan ke kamar dengan Daffa yang nemplok di belakang.

Kelar makan ruang tengah juga langsung kosong. Padahal tadi ada Bila sama Tyas nangkring di sana.

"Kamu nggak ada aku ngapain aja?" tanyanya dengan congkak. Gue nggak bisa liat mukanya tapi gue yakin dia udah pasang senyum miring nyebelin.

"Banyak kali! Emang kalau nggak ada kamu aku otomatis lumpuh gitu gak bisa apa-apa?!"

Daffa ketawa mengejek. "Iyalah, baru minggu pertama ditinggal aja ada laporan kamu uring-uringan."

Gue mendengus kesal, tapi nggak mendebat juga karena emang gitu keadaannya. Cuman aja males bilang kangen soalnya ntar kepala dia makin gede kalau gue ngeluh kangen.

Daffa masih lendotan ke gue waktu masuk kamar, dan gue nggak berani protes karena: 1) ini pertama ketemu setelah sekian lama, gue KANGEN, 2) sejujurnya gue suka kalau Daffa udah jadi clingy dan nempelin gue terus begini. Alhasil gue terpaksa make-up an sambil berdiri--yang mana ribet banget.

Tampak jelas di cermin Daffa menikmati momen-momen gangguin gue yang udah dilewatinya selama sebulan ini karena sedari tadi dia senyum-senyum sendiri! Gue bisa merasakan wajah gue memanas.

Dia terkekeh pelan.

"Kenapa?!" tanya gue mendadak defensif.

"Kamu gak usah pake blush on lagi itu pipinya udah merah."

"IYA, soalnya kamu tempelin terus, panas tau gak?!"

"Oh? Jadi mau aku lepas aja, nih?"

Gue merapatkan bibir. Mau bilang iya tapi nggak rela, mau bilang nggak tapi dia makin besar kepala nanti.

"Ya," respon gue tapi nggak ditanggapi Daffa dengan serius. Gue natap dia lewat cermin. "Serius, aku mau ganti baju."

Lagi, Daffa nggak menanggapi omongan gue dengan serius. Dia malah menciumi puncak kepala gue sebelum menarik gue tiduran di atas kasur. Lengannya masih melingkar di leher gue, kali ini jari-jarinya udah berjalin sama jari-jari gue.

"Daffa, aku mau ganti baju! Minggir cepet, katanya mau jalan!"

"Cancel aja bisa, gak?" pintanya sambil merem. Gue memutar bola mata.

"Kan kamu yang ngajak jalan?"

"Tapi kamu ngantuk? Mending tidur siang."

"Gak mau tidur abis makan, tar diabet," jawab gue asal. "Tar aku makin gendut juga."

Daffa mendecakkan lidah. "Apaan, sih, gendut bagian mananya?"

"Gendut pokonya," rengek gue pelan. "Cepet, bangun gak?!"

"Gak mauuuuu, enakan gini. Di tempat KKN gak ada yang bisa aku giniin."

"Iyalah, lo mau gue timpuk pake sandal?!"

Daffa terkekeh lagi. Kalau begini caranya gue bisa beneran tidur saking rasanya nyaman. Hng.

"Kak," panggil Daffa.

Gue mendongak, beberapa detik kemudian dia melek dan menatap gue tanpa bilang apa pun.

Tangannya lepas dari genggaman gue lantas meraup wajah gue yang terlalu kecil buat tangannya.

"Meyi," panggilnya lagi, bikin gue membulatkan mata. Nggak ada tanda-tanda meledek di nadanya ketika memanggil nama gue, yang mana bikin jantung gue nggak karuan. Matanya Daffa ternyata udah nggak bisa berkompromi juga buat nggak tidur, tapi dia lalu manggil, dengan suara seraknya, "Sayang."

Dengan itu dia mengangkat wajah gue dan mendaratkan sebuah kecupan di bibir yang baru gue lapisi dengan lip matte itu.

"Tidur aja," katanya kemudian, di saat jantung gue detaknya masih berantakan. "Keluarnya masih bisa besok, atau besoknya lagi, atau besoknya lagi."

Gue nggak memberi respon, karena jantung gue mempersulit gue untuk ngomong, dan gue sendiri juga udah makin ngantuk.

Selanjutnya yang gue inget, badan gue tenggelam di balik pelukan Daffa. Dan sambil ditepuk-tepuk, gue hanyut ke alam mimpi bersamaan dengan rencana kita yang batal.

-




aAAaAAAaaaa i feel like i have lost my ability to write in bahasa...not that im good in english either i've been just shit at writing really

but

for the past few weeks ive been kinda writing a serious fic in english, i dont know why im telling yall this

thanks for still reading this piece of mess anyway can't believe it's already chapter 50??? lol. have a nice day!

over everythingWhere stories live. Discover now