47. serius

55 12 0
                                    

"Ibu belum pulang?" tanya Daffa setelah menemukan rumahnya kosong dan satu-satunya orang di sana adalah Bibi yang lagi nyetrika di kamar belakang.

Gue muncul dari balik badannya Daffa lalu nyapa Bibi yang langsung senyumin gue balik.

"Belum. Bibi gak masak, kata Ibu kalau mau makan pesen aja, Ibu juga makan di luar pulangnya malem," jawab Bibi sambil mesem-mesem. "Kirain gak bakal bawa si Eneng, sih. Atau mau dibikinin apa?"

"Gak usah, Bi, ntar pesen aja," tukas Daffa. "Aku ke atas dulu ya!"

Tanpa nungguin jawaban Bibi, dia langsung narik gue ke lantai atas. Gue cuma bisa menggerutu soalnya balik dari kampus tadi gue langsung diculik ke rumahnya. Cuma sempet mandi sebentar di kosan, itupun gue maksa-maksa karena berasa lengket banget.

Sebenarnya, alasan Daffa ngajakin gue main ke rumahnya juga ngaco banget karena katanya cuma pengen kangen-kangenan doang. Padahal masih banyak yang harus gue kerjakan di kosan, tapi yaudah lah gue nurut aja.

Gue menghempaskan badan di sofa tepat di sebelahnya Daffa. Rasanya pegel dan capek banget seharian di kampus, tapi bukannya istirahat gue malah main.

"Kamu mau makan apa?" tanya Daffa sambil ngeluarin HP nya lantas buka aplikasi delivery makanan.

"Nggak mau makan, mual," jawab gue spontan.

Daffa berhenti scroll makanan di HP nya lalu menatap gue dengan serius. Gue memutar bola mata, udah tau romannya dia mau ngapain.

"APA?"

"Ya ampun galak bener, iya deh, gak jadi bercanda," katanya nurut. "Aku pesenin makan aja, kalo gak abis tar aku yang makan."

"Iya, tapi pesenin bubble tea juga dong! Haus banget pengen yang dingin-dingin!"

"Tuh, kan, kayak orang ngidam," gumamnya yang langsung gue cubit.

Daffa akhirnya pesenin makan beserta minuman dan makanan lainnya yang gue pengenin. Kelar order makanan dia main HP sambil gue senderin saking ngantuknya. Untung dia udah mandi jadinya wangi.

Setelah semua makanannya nyampe, baru deh mulai makan besarnya. Nggak, sih, yang makan cuma dia doang. Gue cuma ngemil aja.

"Udah aku pesenin makan masa gak disentuh sama sekali, sih?" kata Daffa di sela-sela dia makan.

"Kan katanya kamu yang mau abisin! Gimana, sih?"

"Iya, tapi coba makan dulu sesuap dua suap, kamu belum makan dari siang, kak!"

Gue menggelengkan kepala.

"Makan," ucapnya datar, lengkap dengan muka seriusnya. Gue mau geleng kepala lagi, tapi mana berani, sih.

Daffa kalau udah serius gini--serius, ya, bukan galak--malah bikin gue luluh soalnya kayak....kapan lagi liat dia seserius ini? Kapan lagi dia orang gedenya lalu gue anak kecilnya? Tapi tetep aja kayak gitu gak bisa lama-lama karena selamanya dia bakal terlihat kayak anak kecil di mata gue.

"Buka mulutnya," katanya kemudian.

Gue menghela napas panjang lalu nurutin kata-katanya. Dia berhasil nyuapin gue beberapa sendok nasi sebelum akhirnya gue menyerah.

"Lagi aneh banget, sih, nafsu makan kamu," komentarnya setelah selesai makan. "Se-stresnya kamu kayaknya gak pernah sampe gak nafsu makan gini deh?"

"Gak tau pokoknya aku mual kalo makan nasi."

Daffa beresin bungkus makanan yang udah kosong lalu melap tangannya dan tangan gue pake tisu basah.

"Ngomong-ngomong, kak. Berhubung skripsi kamu udah kelar, udah siap dong ya dilamar."

Gue hampir keselek denger omongannya dia. Padahal nggak lagi makan tapi mau keselek.

"Apaan, sih! Enggak!" kata gue, hampir terlalu keras sampe Daffa sendiri keliatan kaget. Tapi terus dia senyum.

"Bagus, deh, aku juga belum siap ngelamar," katanya sambil nyengir. Gue rasa gue mau meleleh jadi aspal saat itu juga. Ekspresinya berubah serius lagi sepersekian detik kemudian. "Tapi aku mau nanya serius, nih, serius banget kamu jangan marah. Kalau gak mau jawab juga gak apa-apa, sih.... Kamu ada target mau nikah umur berapa?"

Gue mau nangis banget. Seumur-umur pacaran belum pernah kepikiran sejauh itu. Paling ada cuma sekilas bayangan kabur doang. Sekarang ditanyain masalah serius gini gue mau nangis. Gue merasa masih terlalu kecil buat ngomongin hal seserius itu. Gue masih mau melakukan banyak hal. Gue takut mengecewakan orang-orang di sekitar gue. Mengecewakan diri sendiri. Mengecewakan Daffa.

Gue takut gue sama Daffa bahkan nggak akan sampe ke jenjang itu.

"Dua puluh enam atau tujuh," jawab gue setelah beberapa menit.

Kepala gue nunduk, tapi gue bisa liat Daffa manggut-manggut dengan jelas.

"Aku mau kerja dulu tau," sambung gue pelan. "Mau nabung sendiri, mau sukses sendiri. Nikah, tuh ... masih jauh."

"Iya, iyaaaa. Gapapa kok, gak ada yang larang, gak ada yang maksa nikah sekarang juga," balasnya. "Tapi kamu kerjanya di sini kan nanti? Atau balik ke rumah? Atau--"

"Di sini kok," potong gue sambil mainin lengan baju. "Gak ke mana-mana."

Sebenarnya gue juga punya beberapa pertanyaan serius buat dia, tapi gue memilih buat nggak menanyakannya karena ya ... serem aja gitu?

"Udahan ah," kata Daffa lantas ngambil minum gue seenak jidat. Jantung gue hampir mau copot denger kata udahan.

"Apanya?"

"Seriusan-seriusannya? Kamu kira apa?"

"NGGAK, BUKAN APA-APA!"

Daffa mendekatkan mukanya ke muka gue, yang bikin gue sontak mundur, tapi dia malah ketawa.

"Aneh tau gak liat kamu diem diem gugup kayak gini!" katanya blak-blakan. "Aneh tapi gemes!"

Baru gue mau bales dengan berbagai macam protes, bibir gue udah dikunci duluan sama bibirnya dia.




-








super cheesy tp what do u expect from ME

over everythingWhere stories live. Discover now