20. you deserve that

97 19 13
                                    

Daffa membuat keputusan yang tepat untuk nggak menghubungi gue selama sekian hari. Selama itu juga perasaan gue campur aduk karena gue tau gue kangen Daffa, tapi gue nggak mau ketemu dia sebelum kita berdua bisa sama-sama berkepala dingin. Keributan lain mungkin bakal terjadi kalau kita ketemu dalam keadaan labil kayak gini, dalam keadaan di mana gue selalu teringat kalau gue udah dibohongin selama delapan bulan kalau dia udah berhenti merokok. Gue cuma bersyukur terakhir kita ribut berdua tanpa ada orang lain yang menyaksikan, dan untungnya kemarin-kemarin gue berhasil menahan tangis sampe kosan walaupun begitu masuk kamar gue langsung nangis kenceng.

Nggak tau kalau Daffa nya kayak gimana. Anak-anak kosan untungnya nggak ada yang menyinggung soal Daffa walaupun berhari-hari dia udah nggak mampir. Tyas sama Bila juga sama sekali nggak ngomongin dia kecuali protes kalau mereka diisengin Daffa setiap hari. Jadi, gue menebak kalau Daffa mungkin baik-baik aja. Dan mungkin dia bakal seterusnya baik-baik aja tanpa gue.

Kebetulan yang aneh terjadi sore itu. Waktu gue lagi mikirin Daffa, sebuah panggilan telfon menyambangi HP gue, dan siapa lagi kalau bukan Daffa yang udah berhari-hari juga menghindari dari gue serta berbagai macam keributan.

Gue otomatis pergi ke kamar dan menarik napas dalam-dalam sebelum mengangkat telfonnya. Begitu HP gue menempel di telinga, gue berharap setidaknya bakal merasa lebih lega setelah berhari-hari jauh-jauhan. Tapi nyatanya enggak, karena yang gue dengar adalah helaan napas Daffa yang terkesan berat.

Untuk sekian detik, nggak ada yang mau memulai pembicaraan.

"Kak, aku mau minta maaf yang kemarin-kemarin." Daffa memulai. Gue menunggu sejenak kalau-kalau dia mau melanjutkan dan benar aja, omongannya dijeda waktu yang cukup lama. "Maaf kemarin aku kasar banget sama kamu. Aku tau aku ... seharusnya bisa lebih lembut, bisa lebih kalem."

Gue berdehem, sembari mondar-mandir kamar dan gigit jari. Gue udah maafin Daffa untuk itu, karena gue ngerti mungkin dia nggak lagi dalam mood yang bagus, ditambah gue yang nggak cerita sejujurnya sama dia. Tapi untuk memaafkan dia karena udah bohong selama delapan bulan terakhir, gue nggak yakin. Masih nggak kepikiran kenapa dia segitu niatnya bohongin gue kalau ternyata dia masih merokok.

"Aku juga," balas gue. "I shouldn't have been that emotional."

"Ya, aku nggak seharusnya mancing kamu juga. Kemarin nyampe kosan dengan selamat kan?"

"Hm? Iya, selamat sampai tujuan."

"Bagus, deh," kata Daffa. Dia menghela napas sebelum melanjutkan, "Kak ... aku mau ngomong."

Kalau dalam mood yang bagus pasti udah gue bercandain, ya dari tadi juga udah ngomong. Tapi kesunyian yang membuntuti setelah kalimatnya bikin gue mau memberhentikan waktu dan matiin telfonnya Daffa.

Butuh waktu lama buat Daffa melanjutkan apa yang mau dia omongin. Gue juga menunggunya nggak dengan perasaan yang enteng, karena kalau begini, pasti sesuatu yang berat untuk dia, atau buat gue, atau mungkin buat kita berdua.

"Kita udahan sampe sini aja."

Sebuah pernyataan, bukan pertanyaan, yang berarti Daffa udah bulat sama keputusannya. Dia nggak lagi minta persetujuan gue buat menyudahi semuanya sampai sini, dia menyatakan kalau dia memang pengen menyudahi sampai sini.

Hati gue berasa jatuh melesat ke perut. Gue pengen melontarkan banyak pertanyaan yang diawali kenapa, tapi bahkan gue nggak bisa mengeluarkan suara apapun dan gue merasa nggak berhak untuk bertanya atau menahan dia buat berpikir ulang. Mulut gue ternganga, tapi lidah gue kelu, semua kata yang pengen gue ucapkan terhenti sampai di dada gue dan itu bikin sesak.

"Y-yaudah kalau maunya gitu." Gue menyerah.

Perlahan gue merosot, duduk di samping tempat tidur sambil menutup mulut yang sepertinya bisa mengeluarkan isak tangis dalam waktu tak terduga. Gue tau. Gue tau hari ini bakal datang karena semua hubungan kalau nggak maju ke pelaminan, ya kandas di tengah jalan. Sejak awal jadian sama Daffa, gue udah mempersiapkan diri untuk kemungkinan kedua. That's why I never expose too much of my feelings for him. That's why I thought I was always ready. Tapi ... kenapa rasanya sesakit ini?

Daffa menunggu sekian detik untuk merespon, dan gue harap dia bakal langsung mematikan sambungan telfon aja. Jeda kayak gini terasa mematikan karena gue susah payah menahan napas sekaligus air mata yang udah menetes.

"Makasih buat semuanya," katanya pelan. "Semoga ketemu yang lebih baik dari aku. You deserve that."

-

over everythingDonde viven las historias. Descúbrelo ahora