36. newsflash

95 13 13
                                    

Nggak ada yang lebih mengherankan daripada pulang malem dan dikumpulin di ruang tengah dalam keadaan serius. Sebelumnya, kalau dikumpulin begini karena rencana liburan bareng atau karena ada sesuatu yang perlu didiskusikan semisal ada yang nggak rajin buang sampah atau kebiasaan ninggalin barang berserakan. Sejauh yang gue ingat, kita nggak ada rencana liburan. Dan kosan aman tentram aja sejauh ini. Jadi gue kira, apa mungkin gue yang salah pulang malem-malem?

"Kenapa, sih? Ada apa?" Kak Irin membuka pembicaraan setelah semuanya duduk rapih tapi tetep santai karena ini bukan rapat dewan.

Yang ngide ngumpulin kita berempat tuh Tyas, yang mana makin bikin heran aja karena biasanya dia nggak seinisiatif ini.

"Bingung gimana bilangnya," keluh Tyas mengerutkan dahi.

"Emang masalahnya apaan?"

"Iya, ini menyangkut kita semua, kan? Bilang aja, gapapa."

Tyas menatap kita satu per satu dengan cemas. Sebenarnya nggak aneh juga liat dia cemas gini, cuman masalahnya dia sekarang cemas ketika kita semua lagi dikumpulin begini. Seolah-olah kita semua habis bikin masalah yang bikin dia nggak enak buat jujur.

"Tadi aku mandi," mulainya. Lanjutnya lama banget bikin gue gregetan. "Terus nemu test pack hasilnya positif di kamar mandi."

"HAH?"

Itu reaksi refleks kita bertiga. Sisanya langsung diem-dieman sambil diem-diem melirik satu sama lain, menerka-nerka siapa gerangan yang punya test pack. Dan siapapun itu yang pasti sekarang panik karena, wow, kalau betulan yang punya di antara kita berempat, apa nggak panik karena belum siap apa-apa udah kebablasan? Kalau gue berada di posisi itu mungkin udah nangis nggak karuan.

Gue mencoba buat nggak lebih jauh menerka dan menghubungkan tanda-tanda dari masing-masing mereka dengan tanda positif hamil. Alangkah lebih baik kalau gue nggak mencampuri kecuali diminta.

"Kalau mau jujur boleh kok, gak akan ada yang nge-judge," kata Kak Irin.

"Jujur, sih, bukan aku," sahut Bila setelah jeda panjang.

"Kalau punya aku, gak bakal open discussion gini," tutur Tyas.

Yang mana menyisakan kedua tersangka yaitu gue dan Kak Irin.

Oke.

Pertama-tama, itu bukan gue. Nggak perlu dijelasin ginana tapi gue sama Daffa nggak pernah main sejauh itu. Jadi tentu saja gue bisa setenang ini sekarang karena memang nggak mungkin.

Yang kedua, kalaupun emang benar itu Kak Irin, gue nggak bakal menghakimi. Tapi masalahnya, dia juga bahkan keliatan sesantai gue dan yang lainnya, cuma sedikit cemas nungguin siapa sebenarnya pemilik benda itu.

"Bukan aku," tandas gue.

"Bukan aku juga," Kak Irin mengedikkan bahu. Semuanya menghela napas sedikit lega. "Tapi punya siapa, dong? Masa tiba-tiba muncul?"

"Ibu kos mungkin, kali aja tadi dia ke sini," sahut Bila polos.

"Anjir, Bil, Ibu kos segitu udah menopause kayaknya yang bener aja!"

"Lagian juga kok bisa-bisanya ngambil tes kehamilan di kosan orang bukan di rumah sendiri?"

"Secara teknis, sih, ini kosan punya dia sebenernya."

"Eh, mana test pack nya mau liat dong!"

Setelah perdebatan panjang serta melihat barang bukti secara langsung, akhirnya kita memutuskan buat balik ke kamar masing-masing. Urusan siapa yang punya, ya, sebenernya gue percaya juga bukan salah satu dari kita berempat. Tapi kok ya serem banget di kamar mandi bisa ada test pack tiba-tiba.

Nggak lama sesudahnya, gue nelfon Daffa entah kenapa juga. Kangen aja setelah seharian gue keluar tanpa bener-bener perhatiin chat dia waktu ngebales.

"Udah pulang?" tanyanya begitu angkat telfon.

"He'eh," jawab gue. "Kamu lagi apa?"

"Nonton TV aja. Gabut, nih."

"Songong banget, itu Bila sama Tyas masih sibuk ngerjain tugas."

"Oh, ada tugas ya?" katanya dengan nada meledek.

"Adimas, ih!"

"Apaan, sih? Orang tugasku udah selesai."

"Kok bisa duluan kamu dari mereka?"

"Aku kan rajin kalau nggak digangguin kamu."

Gue langsung mencibir dan diem karena nggak tau mau ngomong apa lagi. Ini dangdut banget, tapi kayaknya emang cuma pengen denger suara dia.

"Oh iya!" seru gue, buru-buru melek ketika inget hal yang ternyata mau gue omongin dari pagi. "Jumat depan aku pulang. Kakak aku mau lamaran."

"Lamarannya hari apa?"

"Sabtu."

"Aku ikut."

Napas gue kayaknya tertahan sepersekian detik waktu Daffa bilang mau ikut pulang udah kayak mau ikut beli jajanan ke warung. Keluarga gue aja belum tau cowok baru gue yang mana terus masa datang-datang udah langsung boyong dia mau dikenalin. Itu kalau mereka udah bisa nerima, lah, kalau belum?

Tapi kalau dipikir-pikir ya nggak salah juga, sih. Udah mau setaun masa bakal terus denial, sih?

"Yaudah." Gue menghela napas panjang. Mendadak langsung deg-degan setelah mengiyakan. "Berangkat Jumat siang atau sore tapi, ya? Naik bis."

"Oke, tar aku atur jadwal lagi," katanya. "Tidur, gih."

Belum sempat gue menjawab, tiba-tiba Kak Irin grebek kamar dengan napas terengah.

"Ternyata test pack tadi tuh punya anaknya Ibu Kos, jadi--Eh, lagi telfon ya? Maaf maaf, lanjut aja dulu."

Lalu dia keluar kamar begitu aja. Sebagian dari diri gue entah kenapa lega banget denger pengumuman tadi. Saking fokus sama omongan Kak Irin tadi gue hampir lupa kalau Daffa masih di sebrang sambungan telfon.

"Daf."

"Yang ... apaan? Test pack?"

"Hah? Iya, ada kejadian ngaco pokoknya."

"Apaan? Bisikin dong."

"Kepo! Udah dulu ya, aku mau menggali informasi."

"Halah dasar! Yaudah jangan lupa sikat gigi."

"Oke."

"Jangan lupa cuci muka."

"Iya, gak dikasih tau juga aku inget!"

"Jangan lupa baca doa."

"Kapan aku matiinnya kalau gini!"

"Satu lagi, satu lagi!" serunya. Gue tau dia bakal bilang sesuatu yang menggelikan, tapi tetep aja gue tungguin. "Cuma mau bilang sayang aja, udah, gih, sana!"

Dan tetep aja gue senyum-senyum sendiri kayak orang gila.


-



how do yall cope with constantly wanting to punch yourself in the face

over everythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang