6. lepas kendali

129 18 5
                                    

Ada gak, sih, kata lain selain capek yang bisa mendeskripsikan mood gue sekarang? Capek fisik, capek mental juga. Sekuat-kuatnya gue kalo udah di-PHP-in dengan "Temui saya jam lima sore di ruang dosen" yang kemudian berubah jadi "Profnya hari ini berangkat ke Spanyol" bakal lelah juga pada akhirnya. Masalahnya, ini udah yang ketiga kali di bulan ini kena PHP dosen pembimbing. Kadang gue pengen marah kenapa mereka menyanggupi jadi dosen pembimbing kalau emang gak mampu.

Sambil mencoba menenangkan diri, gue jalan ke kolam ikan yang ada di depan kampus. Rasanya gue pengen ngeluh sehari semalem. Walaupun bagi beberapa orang masalah gue mungkin gak ada apa-apanya, tapi.... pernah gak, sih, kalian ngerasain cuma selangkah lagi mimpi kalian bisa tercapai, tapi semakin kalian mendekat malah mimpinya semakin jauh? I'm tired of this loop of hell.

Sebuah suara yang meneriakkan nama gue berhasil mengalihkan perhatian. Gue noleh dihadapkan dengan Daffa yang berjalan menghampiri dari tempat parkir, sebuah senyum terpampang jelas di mukanya, dan sayangnya gue nggak punya cukup tenaga buat bales senyum dia.

"Aku telat, ya?" tanya dia.

Gue menggeleng sembari membuang muka. Tanpa ngomong apapun, gue jalan ngeduluin dia. Gue gak liat ekspresinya Daffa gimana, tapi gue bisa ngerasain senyumnya perlahan digantikan sama wajah bingung.

"Bimbingannya gimana?" Daffa menyamakan langkahnya, bikin gue jalan makin cepet.

"Gak jadi," kata gue pelan. Kalau gak karena jawab pertanyaannya Daffa, gue gak bakal tau kalau gue sebenernya gemetar karena nahan nangis.

"Hah?"

"Gak jadi!" jawab gue lebih kenceng, masih nundukin kepala.

Daffa gak merespon apa-apa. Detik selanjutnya dia nyenggol gue pelan.

"Mangat dong! Masih ada besok kok!"

Tapi besok belum tentu gue bahkan punya tenaga buat bangun dari kasur.

"Makan yuk," ajaknya.

Gue masih diem. Jangankan makan, ini gue jalan aja kalau nggak nyeret kaki kayaknya gak bakal bisa.

Ketika nggak gue gubris, Daffa nyenggol gue lagi dan dia terus-terusan nempelin gue seolah minta diperhatiin.

"Jangan cemberut, dong," katanya dengan nada merengek. "Kalo cemberut tar cantiknya ilang."

"Biarin," ucap gue pelan setelah jeda cukup lama sampe akhirnya kita udah di parkiran.

"Jangan sedih napa, mending bawel kayak biasanya aja ayo!"

Gue tarik napas dalam-dalam, mencoba buat nenangin diri tapi tetep aja yang kepikiran di otak, tuh, kenapa kayaknya dunia benci banget sama gue. Bukan cuma soal hari ini, tapi mendadak semua kekesalan sama kesedihan yang udah lewat juga ikut ngumpul balik. Di saat yang gak tepat, Daffa malah cubitin pipi gue. Awalnya gue bisa tolerir kalau cuma sekali dua kali, tapi dia malah ngulangin terus seolah gue bakal ngerasa baikan.

"Bisa diem, gak?! Aku lagi gak pengen bercanda!" bentak gue.

Daffa keliatan kaget karena hal barusan: gue ngebentak dia terlalu keras. Gue lepas kendali. Cepet-cepet gue berbalik badan dan ngatur napas lagi. Padahal Daffa cuma lagi berusaha bikin mood gue balik, kenapa gue harus ngebentak dia?

Seketika gue ngerasa jadi manusia terburuk sedunia. Udah punya rencana gagal, terus sekarang bukannya nahan amarah malah jadiin Daffa pelampiasan. Perlahan, amarah yang entah dari kapan gue bendung pecah. Isak gue terdengar sayup, tapi makin ditahan makin maksa buat keluar. Bodoh. Kenapa harus di tempat ini? Di depan Daffa?

"P-pulang duluan aja sana," kata gue sambil berusaha jaga suara supaya gak gemetar. Tapi gagal.

"Kak, maaf."

Begitu kata-kata itu meluncur dari mulutnya, hati gue langsung terenyuh. Gue serasa habis ditampar, serasa habis minum pil paling pahit di dunia. Alhasil gue makin gak bisa buat nahan nangis.

Setelah beberapa menit gue nangis, Daffa narik lengan gue pelan. Dia menghadapkan gue ke wajahnya, tapi gue bertahan tetep nundukin kepala. Rasanya terlalu malu bahkan sekedar liat wajah dia.

"Kak, maafin aku ya."

Tangannya dengan lembut meraup wajah gue sebelum dia menghapus air mata gue pake jari-jarinya. Gue mendekat ke dia, menutup jarak di antara kita sebelum Daffa akhirnya meluk gue.

"Maaf.... Harusnya aku yang minta maaf."

"Aku juga salah. Harusnya aku nggak maksa kamu buat semangat. Gapapa kok kalau emang lagi down, tapi jangan lama-lama."

Pelukan Daffa makin erat dan kali itu dibarengi sama tepukan di kepala gue yang bikin tenang. Mungkin kalau nggak sadar kalau itu tempat umum gue bakal bisa bertahan lama di posisi kayak gitu.

"Udah baikan? Udah siap pulang?" tanyanya kemudian setelah tangis gue reda.

Perlahan gue menarik diri dari pelukannya terus ngangguk walau masih dengan menunduk. Untungnya Daffa gak maksa gue buat liat wajahnya dia, atau gak gue bisa-bisa nangis lagi.

"Udahan ya nangisnya," kata Daffa sambil usap kepala gue kemudian mendaratkan kecupan di jidat gue. "Aku gak suka liat kamu nangis, apalagi karena aku."

"Aku juga gak suka nangis di depan kamu," sahut gue.

Daffa terkekeh pelan. Niat dia buat make helm tergagalkan karena dia malah balik badan lagi menghadap gue. Sambil mengangkat jari kelingkingnya, dia bilang, "Jangan nangis karena aku lagi."

"Jangan kegeeran," balas gue lalu menyatukan kelingking kita.

Sebuah senyum berhasil muncul di wajah gue. Untuk pertama kalinya, gue berhasil ngerasa tenang hari itu.







hnggg met taun baru semuanya tadinya mau bikin chapt spesial taun baru tp stuck jd kapan2 aja

over everythingWhere stories live. Discover now