51. hari terbalik

87 13 6
                                    

"Bener gak, sih, kalau telat makan tuh bikin cepet mati?" tanya gue.

Daffa melayangkan tatapan heran sebelum menyodorkan sesendok penuh nasi kuning dan lauknya. Tanpa protes, gue melahapnya. Emang agendanya sore ini dia yang nyuapin gue karena gue beralibi terlalu malas bahkan buat nyendok makanan doang. Mumpung nggak ada siapa-siapa di kosan, jadi mereka nggak perlu liat gue sama Daffa jadi lovey-dovey menyebalkan begini deh.

"Iya kalau keseringan," jawab Daffa asal, tapi rautnya serius. Gue juga tau pertanyaan gue konyol, dan Daffa bukan orang yang tepat untuk gue tanyai. "Emang kenapa?"

"Sakit," jawab gue setelah menelan makanan lalu menunjuk ke ulu hati.

Gue memeluk kedua lutut gue lalu menyandarkan kepala di atasnya sambil menatap Daffa yang menghela napas berat.

"Makannya selesai?"

Gue mengangguk. Sisa nasi kuning di piring Daffa yang ngabisin walaupun gue baru makan setengahnya. TV yang nyala di ruang tengah jadi satu-satunya hal yang menyita perhatian gue, bergantian sama Daffa yang lebih sering gue perhatikan.

"Makanya, jangan keseringan telat makan," ucap Daffa setelah makanannya habis. "Kata Kak Kiana kamu sering dimarahin gara-gara telat makan."

Satu dari sekian hari dalam setahun, pasti selalu ada hari di mana jiwa gue sama jiwanya Daffa seolah terbalik. Hari ini contohnya. Daffa dari pagi udah nggak merengek seperti biasanya, gantian gue yang rewel mau diperhatiin walaupun nggak mengutarakan secara langsung. Tapi Daffa ngerti, dan untungnya nggak pura-pura bodoh demi mendengar kemauan gue secara langsung.

Gue mencebikkan bibir, lalu bergeser mendekat sampe akhirnya bisa menyandarkan kepala gue di lengannya. Dia otomatis melingkarkan lengannya di leher gue, lalu mainin rambut gue sambil sesekali ngusek dan untungnya gue baru keramas.

"Masih sakit gak?" tanyanya.

"Masih," jawab gue. Sebenarnya bukan sakit juga, tapi lebih ke sesak karena langsung diisi makanan setelah dibiarin kosong sekian jam. "Sekarang tambah ngantuk juga. Pusing dikit."

"Tuh! Itu, tuh, telat makan! Ntar maag nya makin parah. Sumpah, jangan dibiasain, kak!"

"Iyaaaa."

"Iya iya mulu, paling besok kamu telat makan lagi," omelnya. "Kalo mager keluar kan bisa delivery."

"Please berhenti ngomel, ntar makin sakit kepala."

Daffa mendengus pelan. "Yaudah, tidur sana nanti aku tungguin ampe bangun. Aku beresin ini dulu."

"Kalau kebablasan bangun besok?"

"Yaudah aku tungguin."

"Emang dibolehin nginep sama Ibu?"

Daffa nggak menjawab lagi, dia cuma melemparkan tatapan galak yang biasanya jadi senjata ampuh gue dan gue pun menurut.

Kayaknya efek halangan sekaligus telat makan ini bikin gue capek seharian, berujung gue seketika ketiduran begitu nempel sama kasur. Waktu gue buka mata, gue kira udah siang, tapi ternyata masih gelap dan Daffa nepatin janjinya buat nungguin gue. Dia duduk di samping kasur sambil ngusap kepala gue lembuuuuut banget sampe rasanya gue mau lanjut tidur. Rasa kantuk gue udah berkurang, lagian mana bisa lanjut tidur kalau dia masih bangun.

Sebuah senyum menarik ujung bibirnya waktu sadar gue bangun.

"Jam berapa?" tanya gue.

"Sebelas," jawabnya tanpa melepas tangannya dari dahi gue. "Mau susu gak?"

"Hah?"

"Mau susu anget gak? Aku tadi nitip ke Kak Irin."

Gue menggeleng pelan, mengisyaratkan Daffa buat geseran biar gue bisa tiduran di pangkuannya.

"Kemarin aku kebangun pagi banget gara-gara sakit perut," cerita gue. Tangan Daffa yang tadinya ngusap kepala gue sekarang gue genggam. Jemarinya gue telusuri dengan jari gue yang jauh lebih kecil. "Kemarin-kemarinnya waktu beli nasi goreng aku digodain sama abangnya. Kata abangnya aku cantik."

Daffa terkekeh pelan. Gue meliriknya dan dia malah mencubit hidung gue, bikin gue merintih pelan.

"Terus kamu seneng dibikang cantik sama abangnya?"

Gue membenarkan kepala gue jadi menatap lurus ke arahnya. "Enggak. Aneh kalau dibilang cantik sama orang asing soalnya kan....aku gak cakep."

"Pleaseee, kamu tuh cakep kali. Cantik. Cantik banget," pujinya sambil ngelus dahi gue.

"Tuh...," ucap gue, setengah jengah setengah minder. "Kalau yang muji orang dikenal malah kayak lagi diejek."

"Apaan, sih," protesnya. "Pokoknya kamu cantik. Lockscreen sampe wallpaper chat HP aku foto kamu semua, kurang apa lagi?"

Pipi gue terasa panas mengingat Daffa punya satu folder di galerinya yang isinya gue doang. Mengharukan, sih, tapi apa nggak sakit mata isinya muka gue?

Gue menuntun tangan Daffa buat menutupi wajah gue tapi dia malah ketawa keras lalu cubit pipi gue. Merasa kesal, gue pun bangun lalu merengut ngeliat muka Daffa yang puas banget kayaknya liat gue salting.

"Aku mau ambil susu angetnya, di mana?"

Dia menahan gue, tapi nggak menjawab. Alih-alih dia yang bangun, masih menatap gue dengan puas.

"Salting ya," ledeknya. Gue sontak buang muka. "Yang."

Waktu gue noleh, Daffa iseng cium pipi gue dengan kilat.

"Aku aja yang ambil, kamu diem sini."




-



HEEEEEEE masih ada yg nungguin gaksi wkwkw
Tadinya mau bikin chapter special tp gabisa gatau knp gabisa nulisnya jd yaudah selamat membaca smg tidak bosan!!

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 01, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

over everythingWhere stories live. Discover now