46. malam minggu pertama

76 11 13
                                    

[f l a s h b a c k]


"Meyiiiii ada yang nyariin, nih!" teriak Kak Irin dari luar.

Diteriakin gitu gue langsung merasa deg-degan campur salah tingkah, kenapa cepet banget datangnya! Perasaan baru tadi Daffa bilang mau ke kos tapi kok sekarang udah sampe! Rambut gue masih setengah basah gara-gara abis keramas dan gue selalu keliatan nggak banget dengan rambut basah!

Buru-buru gue keluar kosan sambil mengatur napas. Kak Irin yang ternyata nemenin Daffa ngobrol memberikan gue tatapan bingung tapi romannya sih udah paham juga.

"Mau malam mingguan ya?" ledeknya yang bikin muka gue panas.

"Maunya," sambar Daffa. "Gak tau yang diajak mau apa nggak."

"Dasar anak muda! Selamat malam mingguan, deh!" katanya lalu masuk.

Hhh anak muda anak muda tapi sendirinya juga lagi pdkt sama temen gue!!!

Daffa duduk di teras liatin gue dengan alis satunya terangkat. Setelan bajunya santai tapi dia juga kayaknya abis keramas karena rambutnya sama-sama basah dan wangi sabun banget.

"Jangan liat-liat," protes gue sambil duduk di sebelahnya lalu dorong mukanya pelan.

"Jutek amat," komentarnya.

"Ngapain lo ke sini?" tanya gue.

"Kok sepi kosan?" Dia malah mengalihkan topik pembicaraan dengan sok taunya.

"Semua pada di kamar kok, Tyas doang yang keluar sama Adnan."

"Langgeng juga si duta GoPay," sahut Daffa yang bikin gue langsung ketawa.

Terus kita diem-dieman. Hawa di luar udah nggak enak karena mendekati waktu Maghrib. Gue mau ngajak masuk juga ragu soalnya di ruang tengah nggak ada siapa-siapa. Jadi gue cuma nunduk lalu pura-pura mengobservasi keadaan sekitar yang gitu-gitu aja.

"Ih, tangan lo kok lecet!" seru gue panik karena bukan sekedar lecet kecil tapi lecet yang lumayan gede dan masih keliatan baru lukanya.

"Iya itu tadi kena--" Daffa berhenti waktu gue ngambil tangannya.

Tanpa babibu lagi gue masuk buat ngambil salep entah salep apa namanya tapi nyokap gue selalu sedia salep itu buat luka.

"Nih, olesin." Gue menyodorkan salep yang masih penuh ke dia tapi malah nggak diterima.

"Olesin, dong."

Gue mendengus kasar, tapi nurut juga disuruh ngolesin.

"Perih tau lecet kayak gini kalau kena air," gumam gue.

"Ah gini doang, belum seberapa," katanya meremehkan. "Masih lebih perih ditolak cinta."

Rasa-rasanya gue mau teriak. Paham banget maksudnya ngomong kayak gitu, tuh, apa. Terlebih setelah dia ngaku waktu itu kita nggak pernah bahas soal ini lagi.

"Sering ya?" pancing gue.

"Baru sama lo doang."

"Sadar nggak, sih," mulai gue setelah selesai ngolesin salep. "Kalau kita jadian, tuh, aneh banget!"

"Gak tau, menurut gue sih biasa aja."

Gue menghela napas panjang. Aneh banget ini orang nggak bisa liat anehnya di mana! Udah paling jelas kita nggak punya kesamaan. Dari segi apapun. Dia selalu ngantuk tiap gue ngomongin film romcom dan gue nggak setertarik itu sama film action yang dia suka. Daffa punya circle pertemanan yang luas, gue terbatas itu-itu aja. Daffa sukanya main sama temen-temennya, gue lebih suka diem di kos. Daffa perokok, gue nggak bisa deket-deket asap rokok.

Kebiasaan kita kontras banget dan gue nggak kebayang pacaran sama orang yang sangat berbeda dari gue.

Lagipula ... gue dapet bocoran dari Bara soal beberapa mantannya Daffa. Dan, wow, they're what you call pretty girls.

"Kenapa lo nggak naksir temen lo atau siapa gitu?"

"Yang aneh, tuh, pertanyaan lo!"

"Kenapa gue?!"

"Please, stop nanya aneh-aneh! Udah jelas gue sukanya sama lo," tandasnya. Kemudian ada jeda beberapa menit. "Lo kalau gak suka sama gue mending bilang langsung daripada ngulur-ngulur gini karena gak enakan."

"Bukan gitu," kata gue hampir merengek. "Lo, sih, gak ngerti!"

"Ya mana ngerti kalau lo nya gak ngomong?"

Gue nggak bisa ngomong dan nggak mungkin ngomong! Dia, sih, enak nggak perlu mikir banyak. Yang mau sama dia banyak, nggak perlu heran kalau tiba-tiba ada yang naksir.

"Yakinin gue, please."

"Lo mau denger apa?"

"Apapun?"

Daffa menarik napas dalam-dalam.

"Gue bakal coba selalu ada buat lo. Gue bakal selalu support lo dan semua hal yang lo suka. Gue bakal jadi cowok baik-baik. Gue bakal coba berhenti ngerokok! Tapi kalau lo mau sampe bener-bener lupain Raka, gue mau nunggu kok. Please, these all sound like bullshit, but you just have to trust me, try, and see it for yourself."

"Oke," sambar gue setelah dia selesai ngomong panjang lebar.

Kalau gue nggak mempercayai insting impulsif gue, kita bakal tetep jalan di tempat.

"OKE APA?" tanya Daffa dengan suara melengking.

"Ya, oke, gue mau coba jalanin whatever this is sama lo.... Unless you want to rethink and step back," jawab gue. DEG-DEGAN BUKAN MAIN.

"ENGGAK, LAH! GILA KALI?!" serunya yang bikin gue hampir budek.

Awalnya gue mau kesel, tapi liat Daffa yang tiba-tiba senyum lebar gue jadi ikutan senyum juga. Dia melirik gue lalu buang muka seolah-olah nggak tau mau ngapain. Sebel banget kayak anak baru puber.

"Semoga besok pagi bangun-bangun nggak nyesel ya," kata gue lantas berdiri, udah siap mau balik ke kamar.

"Nggak lah, eh, kak mau ke mana?"

"Masuk, lah, lo udah mau pulang kan?"

"Apa gak mau jalan ke mana gitu?"

Gue menelan ludah. Diliatin Daffa dengan penuh harap kayak gitu bikin muka gue memanas. Gila kali ya, diliatin doang rasanya mau kayang gimana kalau beneran jalan bareng.

"Ya, boleh deh, nunggu Maghrib dulu. Sini lo masuk!"

Lalu Daffa ngekor kayak anak anjing kegirangan.



-

over everythingWhere stories live. Discover now