16. good mood

85 16 2
                                    

"Kamu, tuh."

Suara Daffa yang menginterupsi lamunan gue sontak bikin gue duduk tegap, tapi melorot lagi begitu sadar kalau ternyata yang bikin kaget cuma Daffa.

"Aku, tuh, apa?"

"Ngelamun mulu. Baru ditinggal sebentar."

"Ya abisnya, laper!" keluh gue.

Tangan Daffa otomatis terulur buat cubit pipi gue, bikin gue meringis dan menangkis tangannya.

"Jangan ngelamun," katanya serius.

Alis gue terangkat. "Kenapa? Nanti kesurupan?"

"Bukan, nanti ada yang nyulik."

"Ih, ngaco, mana ada yang nyulik aku, sih?"

"Ada kalau muka kamu sayu terus kayak gitu!"

Gue merengut. Nggak salah, sih, Daffa bilang muka gue sayu. Dia bukan orang pertama yang bilang kayak gitu, dan gue mulai percaya omongan orang-orang yang bilang gue, Kak Kiana, sama Alta gak terlihat saudaraan.

Kak Kiana rautnya anggun, lemah lembut dan sopan santunnya sering dibilang persis didikan keraton sama orang lain. Berbeda sama Kak Kiana, Alta justru punya wajah yang terkesan galak kayak mau marahin anak orang, padahal dia di rumah juga manja. Sementara gue, yah, kata orang-orang muka gue sayu, dan bukan sayu yang lemah lembut kayak Kak Kiana, tapi sayu orang belum makan seminggu.

"Mukaku emang gini dari sananya," cibir gue.

Daffa menangkup wajah gue yang bahkan lebih kecil dari tangannya lalu menghadapkan gue dengan wajahnya. Momen kayak gini adalah salah satu dari sekian momen yang bikin jantung gue hampir loncat dari tempatnya, tapi setiap gue mau melarikan diri dari situasi kayak gini Daffa pasti selalu bisa menahan gue.

"Muka sayu kamu, tuh, gemes kayak anak kecil," katanya sambil cengengesan. "Pasang muka sayunya depan aku aja."

Senyum Daffa makin lebar dan gue tau saat itu juga pasti wajah gue udah memerah sedangkan gue cuma bisa melakukan pertahanan dengan pasang tampang galak.

"Eh, permisi Kak, ini makanannya."

Gue cepet-cepet melepas tangan Daffa waktu menyadari keberadaan mas-mas waiter di meja kita, lalu bilang makasih dengan muka yang masih terasa panas. Untung meja kita di luar di deket kolam ikan, dan kafe ini juga belum begitu rame, jadi gue cuma mesti menahan malu kepergok mas-masnya. Lain kali kayaknya gue harus nyemprot Daffa aja biar dia tau tempat buat melakukan PDA.

Sesaat setelah mas-masnya pergi, gue langsung bersiap buat makan, nggak sanggup buat liat mukanya Daffa lagi setelah kejadian memalukan barusan. Sialnya, dia malah ambil ikat rambut yang mau gue pake dari pergelangan tangan gue.

"Balikin sini, aku mau makan," ujar gue, tapi Daffa malah pakein ikat rambut gue di pergelangan tangannya sendiri. Kalau gini ceritanya, ikat rambut barusan pasti jadi korban ke sekian yang bakal dia simpen sendiri.

"Nggak usah diiket," katanya santai. Sambil memangku dagu, dia menyelipkan rambut gue ke belakang telinga. "Nanti makin banyak yang naksir, susah aku jagain kamu."

Gue mengerang pelan. Sumpah, kalau gak makan pun kayaknya gue udah bakal kenyang gara-gara semua kelakuan dan gombalan dia.

Daffa masih anteng elus-elus kepala gue sementara gue makan dengan hati gak tenang. Tengilnya, dia nyeletuk lagi, "Aku gak suka manggil kamu kakak."

Gue yang sedari tadi menghindari tatapan dia menoleh dengan muka gak percaya campur bingung. Kok tiba-tiba banget? Dari dulu juga perasaan biasa aja, deh, manggilnya kakak.

"Kenapa?"

"Mas-mas tadi aja manggil kamu kakak," sahutnya. Jarinya beralih dari rambut ke pipi gue. "Masa aku juga? Aku mau kasih kamu panggilan sayang."

Gue mendecak pelan. Mulai lagi, kan, emang harusnya nggak usah gue ladenin.

"Meyi," katanya.

Gue hampir aja nabok dia. "Pake kakak, dong!"

"Kan ngasih panggilan sayang!"

"Itu, mah, nama aku!"

"Yaudah, yaudah," Daffa mengalah. "Kecil?"

"Gak sopan!" cicit gue sembari cubit pelan lengannya. Daffa cuma terkekeh.

"Kecil lucu tau," katanya sambil nyengir. "Hey, kecil!"

"Ngeselin banget! Ini bukan panggilan sayang, ya, ini mah alasan aja biar kamu bisa ngeledek aku!"

Gue dorong Daffa dari kursinya tapi percuma, dia gak jatuh. Yang ada malah tangan gue ditahan, bikin gue gak bisa lepas lagi dari situasi kayak gini. Daffa ketawa puas banget dan gue tau ini semua, tuh, cuma rencana dia buat bikin gue kesel!

"Yaudah gak jadi kecil," katanya. "Sayang?"

Tubuh gue berasa membeku waktu denger kata itu keluar dari mulutnya sampe gue harus berhenti ngunyah. Yang lebih parah, gue hampir menyahuti dia. Tapi kali ini Daffa nggak keliatan kayak lagi bercanda. Dia juga nggak lagi menahan ketawa kayak sebelum-sebelumnya.

"Sayang," panggilnya lagi. Ketika nggak ada respon dari gue, Daffa menambahkan, "Sayang it is, then!"

Baru setelah menetapkan sendiri nama panggilannya buat gue dia makan. Memang makannya lebih telat dari gue, tapi tetep aja dia bisa membalap. Untungnya, dia udah nggak membahas soal panggilan kesayangan atau apalah itu, melainkan mengganti topik dengan bahasan waktu kemarin-kemarin dia berkunjung ke panti.

Daffa cerita banyak, katanya dia langsung ditanyain kenapa gue gak ikut. Dan gue sejujurnya seneng, tapi di sisi lain, gue gak bisa sepenuhnya mendengarkan cerita dia karena di hari yang sama, gue batal ikut demi acara makan bareng keluarga ... dan Raka.

"Kamu gimana kemaren sama keluarga? Salam dari aku udah disampein?" tanyanya dengan mulut penuh makanan.

Gue menelan makanan gue dengan susah. Apa sekarang waktunya tepat buat kasih tau dia kalau kemarinn nggak cuma ada keluarga gue tapi juga Raka? Gimana kira-kira reaksinya dia kalau denger keluarga gue taunya gue masih pacaran sama Raka?

Daffa menautkan alis, menunggu gue menjawab.

Aduh, gak mungkin sekarang. Mood-nya Daffa lagi bagus banget dan gue gak mungkin merusaknya gitu aja.

"Udah." Gue mengangguk akhirnya. "Salam balik katanya."

Senyum Daffa seketika merekah sebelum dia acak-acak pelan rambut gue. Kalau gini ceritanya, gue jadi berpikir dua kali buat kasih tau dia yang sebenarnya. Mungkin ini satu-satunya situasi di mana gue bisa melarikan diri tanpa harus membayangkan konsekuensinya gimana.

-

hi, stream no by clc

over everythingWhere stories live. Discover now